A. Latar Belakang
Isu
pendidikan telah menjadi bagian dari dinamika pendidikan di negeri ini. Dari
jaman ke jaman ada isu yang masih terus hidup dan ada pula yang hilang kemudian
digantikan dengan yang baru. Seperti masalah yang kali ini terus mencuat dan bergulir
mengenai kualitas pendidikan. Kata kualitas tak asing lagi di telinga kita apalagi
di kehidupan modern ini. Selayaknya makanan yang penting untuk hidup, kualitas
pun menjadi penting untuk memajukan pendidikan negeri ini. Isu yang terdengar
tentang kualitas pendidikan Indonesia yang buruk, menjadikan bahan berpikir
untuk kita telusuri apa yang sebenarnya melandasi masalah ini.
Pemerintah
sudah menganggarkan 20% dari APBN untuk memenuhi kebutuhan dalam peningkatan
mutu pendidikan. Akan tetapi, kenyataan yang ada belum cukup dan masih terus
bergulir masalah mengenai mutu. Keadaan yang tidak kondusif di negara ini juga
mempengaruhi kualitas pendidikan yang semakin menurun. Ketersediaan sarana dan
prasarana penunjang pembelajaran pun masih jauh dari kata cukup dan layak. Di tunjang
pula oleh tenaga pendidik yang belum memenuhi kriteria untuk menjadi pendidik
yang berkompeten dan peserta didik yang belum memaksimalkan potensi yang
dimiliki. Lihat saja yang terjadi, kurikulum selalu berganti-ganti dan tujuan
pendidikan yang tak jelas menambah panjang masalah kualitas pendidikan yang
harus diselesaikan.
Kualitas
pendidikan kita yang lebih rendah dari malaysia dan singapura membuktikan bahwa
pendidikan di Indonesia perlu dibenahi. Untuk
mencapai semua itu, kita harus berpikir keras dalam mencari solusi yang tepat.
Sekolah-sekolah yang ada ikut bersaing untuk mendapatkan nama sekolah
berkualitas. Sekolah berlevel internasional pun turut hadir dengan menawarkan
sekolah unggulnya. Lantas, sebenarnya pendidikan yang seperti apa yang dapat
meningkatkan kualitas dan lepas dari ketertinggalan ini?
B. Rumusan
Masalah
Dari uraian latar belakang masalah di atas, dapat
diambil beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana menurut UNESCO tentang karakter mutu
pendidikan?
2.
Faktor-faktor apa saja yang menentukan kualitas
pendidikan?
- Bagaimana cara meningkatkan kualitas pendidikan?
- Bagaimana peran pemerintah dalam mengatasi kualitas pendidikan?
C. Karakter Mutu Pendidikan Menurut UNESCO
Menurut UNESCO, ada lima dimensi yang terkait dengan mutu
pendidikan yaitu:
1. Karakteristik pembelajar (learner characteristics)
1. Karakteristik pembelajar (learner characteristics)
Dimensi ini sering disebut sebagai masukan (inputs) atau malah
masukan kasar (raw inputs) dalam teori fungsi produksi (production function
theory), yaitu peserta didik atau pembelajar dengan berbagai latar belakangnya,
seperti pengetahuan (aptitude), kemauan dan semangat untuk belajar
(perseverance), kesiapan untuk bersekolah (school readiness), pengetahuan siap
sebelum masuk sekolah (prior knowledge), dan hambatan untuk pembelajaran
(barriers to learning) terutama bagi anak luar biasa. Banyak factor latar
belakang peserta didik yang sangat mempengaruhi mutu pendidikan di negeri ini.
Banyak anak usia sekolah yang tidak didukung oleh kondisi yang kondusif,
misalnya peserta didik yang berasal dari keluarga tidak mampu, keluarga pecah
(broken home), kesehatan lingkungan, pola asuh anak usia dini, dan
faktor-faktor lain-lainnya. Dimensi ini menjadi faktor awal yang mempengaruhi
mutu pendidikan.
2.Pengupayaan masukan (enabling inputs)
Ada dua macam masukan yang akan mempengaruhi mutu pendidikan
yang dihasilkan, yaitu sumber daya manusia dan sumber daya fisikal. Guru atau
pendidik, kepala madrasah, pengawas, dan tenaga kependidikan lain menjadi
sumber daya manusia (human resources) yang akan mempengaruhi mutu hasil belajar
siswa (outcomes). Proses belajar mengajar tidak dapat berlangung dengan nyaman
dan aman jika fasilitas belajar, seperti gedung sekolah, ruang kelas, buku dan
bahan ajar lainnya (learning materials), media dan alat peraga yang dapat
diupayakan oleh sekolah, termasuk perpustakaan dan laboratorium, bahkan juga
kantin sekolah, dan fasilitas pendidikan lainnya, seperti buku pelajaran dan
kurikulum yang digunakan di sekolah. Semua itu dikenal sebagai infrastruktur
fisikal (physical infrastructure atau facilities). Singkat kata, mutu SDM yang
tersedia di sekolah dan mutu fasilitas sekolah merupakan dua macam masukan yang
sangat berpengaruh terhadap mutu pendidikan.
3.Proses belajar-mengajar (teaching and learning)
Dimensi ketiga ini sering disebut sebagai kotak hitam (black
box) masalah pendidikan. Dalam kotak hitam ini terdapat tiga komponen utama
pendidikan yang saling berinteraksi satu dengan yang lain, yaitu peserta didik,
pendidik, dan kurikulum. Tanpa peserta didik, siapa yang akan diajar? Tanpa
pendidik, siapa yang akan mengajar, dan tanpa kurikulum, bahan apa yang akan
diajarkan? Oleh karena itu mutu proses belajar mengajar, atau mutu interaksi
edukatif yang terjadi di ruang kelas, menjadi faktor yang amat berpengaruh
terhadap mutu pendidikan. Efektivitas proses belajar-mengajar dipengaruhi oleh:
(1) lama waktu belajar, (2) metode mengajar yang digunakan, (3) penilaian,
umpan balik, bentuk penghargaan bagi peserta didik, dan (4) jumlah peserta
didik dalam satu kelas. Ruang kelas di Indonesia sangat kering dengan media dan
alat peraga. Pakar pendidikan, Dr. Arif Rahman, M.Pd. sering menyebutkan bahwa
ruang kelas ibarat menjadi penjara bagi anak-anak. Jika diumumkan ada rapat dewan
pendidik, dalam arti tidak ada kelas, maka bersoraklah para siswa, ibarat
keluar dari pintu penjara tersebut. Sesungguhnya, di sinilah kelemahan terbesar
pendidikan di negeri ini. Proses belajar mengajar di ruang kelas sangat kering
dari penggunaan teknik penguatan (reinforcement), kering dari penggunaan media
dan alat peraga yang menyenangkan. Dampaknya, dapat dibaca, yaitu hasil belajar
yang belum memenuhi standar mutu yang ditentukan. Sentral permasalahan lemahnya
proses belajar mengajar di dalam kelas ini, sebenarnya sudah diketahui, yakni
kualifikasi dan kompetensi guru. Setengah guru Indonesia belum memenuhi standar
kualifikasi. Apalagi dengan standar kompetensinya. Timbullah istilah ‘guru tak
layak’. Belum lagi dengan masalah kesejahteraannya. Ada pendapat yang menyatakan bahwa semua
masalah bersumber dari masalah kesejahteraan. Memang, kesejahteraan guru
menjadi salah satu syarat agar guru dapat disebut sebagai profesi, selain (1)
memerlukan keahlian, (2) keahlian itu diperoleh dari proses pendidikan dan
pelatihan, (3) keahlian itu diperlukan masyarakat, (4) punya organisasi
profesi, (5) keahlian yang dimiliki dibayar dengan gaji yang memadai.
4.Hasil belajar (outcomes)
Hasil belajar adalah sasaran yang diharapkan oleh semua pihak.
Di sini memang terjadi perbedaan harapan dari pihak-pihak tersebut. Pihak dunia
usaha dan industri (DUDI) mengharapkan lulusan yang siap pakai. Pendidikan
kejuruan dipacu agar dapat memenuhi harapan ini. Sedang pihak praktisi
pendidikan pada umumnya cukup berharap lulusan yang siap latih. Alasannya, agar
DUDI dapat memberikan peran lebih besar lagi dalam memberikan pelatihan. Setidaknya,
semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan menghasilkan lulusan yang dapat
membaca dan menulis (literacy), berhitung (numeracy), dan kecakapan hidup (life
skills) Ini memang pasti. Selain itu, peserta didik harus memiliki kecerdasan
emosional dan sosial (emotional dan social intelligences), nilai-nilai lain
yang diperlukan masyarakat. Terkait dengan berbagai macam kecerdasan, Howard
Gardner menegaskan bahwa “satu-satunya sumbangan paling penting untuk
perkembangan anak adalah membantunya untuk menemukan bidang yang paling cocok
dengan bakatnya”. Hasil belajar yang akan dicapai sesungguhnya yang sesuai
dengan potensinya, sesuai dengan bakat dan kemampuannya, serta sesuai dengan
tipe kecerdasannya, di samping juga nilai-nilai kehidupan (values) yang
diperlukan untuk memeliharan dan menstransformasikan budaya dan kepribadian
bangsa. Dalam perspektif psikologi pendidikan dikenal sebagai ranah kognitif,
afektif, dan psikomotorik. Dalam perspektif sosial dikenal dengan istilah 3H
(head, heart, hand). Tokoh pendidikan dari Minang mengingatkan bahwa “Dari
pohon rambutan jangan diminta berbuah mangga, tapi jadikanlah setiap pohon
mangga itu menghasilkan buah mangga yang manis” (Muhammad Sjafei, INS). Semua
itu pada dasarnya untuk mencapai tujuan pendidikan nasional
5.Konteks (contexts) atau lingkungan (environments)
Lingkungan sangat berpengaruh terhadap hasil pendididikan siswa,
karena mereka hidup alam konteks lingkungan sekitarnya, baik lingkungan sekolah
atau keluarga, atau lingkungan pergaulan siswa.
D.
Faktor-Faktor
Mutu atau Kualitas Pendidikan Nasional
a. Pendidik
Sistem pendidikan nasional dimaksudkan untuk menjamin pemerataan
kesempatan pendidikan, meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan, serta
efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tuntutan perubahan kehidupan
lokal, nasional, dan global. Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan,
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan menetapkan delapan standar nasional pendidikan yang harus
menjadi acuan sekaligus kriteria dalam menetapkan keberhasilan penyelenggaran
pendidikan nasional. Delapan standar nasional pendidikan yang dimaksud meliputi
standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan
tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar
pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.
Salah satu standar yang berkaitan langsung dengan keberhasilan
penyelenggaraan pendidikan adalah standar pendidik dan tenaga kependidikan,
khususnya guru. Guru sebagai tenaga profesional bertugas mewujudkan tujuan
pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan
nasional tersebut, guru sebagai tenaga profesional wajib memiliki kualifikasi
akademik dan kompetensi, serta sehat jasmani dan rohani, sebagaimana yang
diamanatkan oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen.
Kualifikasi akademik untuk guru adalah tingkat pendidikan minimal yang
harus dipenuhi oleh seorang guru yang dibuktikan dengan ijazah yang
mencerminkan kemampuan akademik yang relevan dengan bidang tugas guru.
Kompetensi guru adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang
harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru dalam melaksanakan tugas
keprofesionalan. Standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru telah
ditetapkan dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi
Guru yang meliputi Guru TK/RA, Guru SD/MI, Guru SMP/MTs, Guru SMA/MA dan Guru
SMK/MAK untuk kelompok mata pelajaran normatif dan adaptif.
Pencapaian standar kualifikasi akademik dan penguasaan kompetensi guru
dibuktikan melalui sertifikat profesi guru yang diperoleh melalui program
sertifikasi. Dengan kata lain, sertifikasi adalah proses untuk mengukur dan
menilai pencapaian kualifikasi akademik dan kompetensi minimal yang dicapai
oleh seorang guru. Guru profesional yang memiliki kualifikasi akademik dan
kompetensi yang memenuhi standar akan mampu mewujudkan pendidikan nasional yang
bermutu. Oleh karena itu, program sertifikasi merupakan salah satu program
utama untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.
b. Kurikulum
Dalam peningkatan mutu sistem pendidikan nasional kurikulum mempunyai
peran sangat besar dan penting. Kurikulum adalah alat untuk mencapai tujuan
pendidikan. Pembaharuan sistem pendidikan akan membawa arti jika dilakukan
dengan melakukan penataan kurikulum. Dengan kurikulum idealisasi tentang wujud
penyelenggaraan pendidikan dapat diperkirakan, baik dalam perencanaan maupun
pelaksanaan. Dapatlah dikatakan bahwa kurikulum seperti digambarkan itu sebagai
sesuatu yang dicita-citakan dalam bidang pendidikan. Sebagaimana diketahui,
bahwa setiap cita-cita merupakan sesuatu harapan. Jadi apa yang direncanakan
dalam kurikulum yang bersifat formal (resmi) pada dasarnya mencerminkan
cita-cita (idealisasi) tentang wujud hasil pendidikan yang ingin dicapai. Oleh
karena itu kurikulum semacam ini dapat dipandang sebagai kurikulum formal atau
kurikulum ideal. Kurikulum itu pada prinsipnya di dalam ilmunya ada dua bentuk,
yaitu formal kurikulum atau kurikulum resmi, atau kurikulum ideal dan informal
kurikulum. Kurikulum resmi adalah kurikulum yang disusun secara resmi oleh
pemerintah seperti Garis-garis Besar Program Pembelajaran (GBPP) dan segala
macamnya, oleh karena itu kurikulum formal sering pula disebut kurikulum yang
tertulis. Sedangkan kurikulum informal atau kurikulum tidak resmi, atau
kurikulum tidak nyata adalah pelaksanaan kurikulum dalam praktek pembelajaran.
Pengertian kurikulum ini sangat fundamental dan menggambarkan posisi
sesungguhnya kurikulum dalam suatu proses pendidikan, karena kurikulum dianggap
sebagai “the heart of education” (Hasan, 2007).
Kurikulum sekolah yang semula berbasis pada isi (content base) mulai
tahun 2004 diubah menjadi kurikulum berbasis kompetensi (competence base).
Dengan kurikulum semacam ini rumusan kompetensi yang dituangkan dalam kurikulum
merupakan standar kemampuan minimal yang harus dimiliki oleh setiap keluaran
sekolah yang ditetapkan secara nasional. Dalam pelaksanaannya, untuk mencapai
kompetensi dasar ini disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan daerah dan
sekolah masing-masing, dan untuk mencapai hal itu diperlukan adanya standar
yang dijadikan kriteria keberhasilan, yang terkait dengan: (1) apa yang
diketahui dan dapat dilakukan oleh peserta didik, (2) program pembelajaran yang
mengembangkan cara-cara belajar, 3) program pengajaran ilmu-ilmu dasar dan budi
pekerti, dan 4) acuan pokok penilaian atau indikator penilaian. Melalui
perubahan kurikulum ini standar nasional yang dimasukan untuk menjadikan
pendidikan nasional unggul dan bermutu diharapkan dapat dicapai di masa yang
akan datang.
c. Tujuan pembelajaran
Salah satu sumbangan terbesar dari aliran psikologi
behaviorisme terhadap pembelajaran bahwa pembelajaran seyogyanya memiliki
tujuan. Gagasan perlunya tujuan dalam pembelajaran pertama kali dikemukakan
oleh B.F. Skinner pada tahun 1950. Kemudian diikuti oleh Robert Mager pada
tahun 1962 yang dituangkan dalam bukunya yang berjudul Preparing Instruction
Objective. Sejak pada tahun 1970 hingga sekarang penerapannya semakin
meluas hampir di seluruh lembaga pendidikan di dunia, termasuk di Indonesia.
Merujuk pada tulisan Hamzah B. Uno (2008) berikut ini
dikemukakan beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli. Robert F.
Mager (1962) mengemukakan bahwa tujuan pembelajaran adalah perilaku yang hendak
dicapai atau yang dapat dikerjakan oleh siswa pada kondisi dan tingkat
kompetensi tertentu. Kemp (1977) dan David E. Kapel (1981) menyebutkan
bahwa tujuan pembelajaran suatu pernyataan yang spesifik yang dinyatakan dalam
perilaku atau penampilan yang diwujudkan dalam bentuk tulisan untuk
menggambarkan hasil belajar yang diharapkan. Henry Ellington (1984) bahwa
tujuan pembelajaran adalah pernyataan yang diharapkan dapat dicapai sebagai
hasil belajar. Sementara itu, Oemar Hamalik (2005) menyebutkan bahwa tujuan pembelajaran
adalah suatu deskripsi mengenai tingkah laku yang diharapkan tercapai oleh
siswa setelah berlangsung pembelajaran .
Meski para ahli memberikan rumusan tujuan pembelajaran yang
beragam, tetapi semuanya menunjuk pada esensi yang sama, bahwa : (1) tujuan
pembelajaran adalah tercapainya perubahan perilaku atau kompetensi pada siswa
setelah mengikuti kegiatan pembelajaran; (2) tujuan dirumuskan dalam bentuk
pernyataan atau deskripsi yang spesifik. Yang menarik untuk digarisbawahi
yaitu dari pemikiran Kemp dan David E. Kapel bahwa perumusan tujuan
pembelajaran harus diwujudkan dalam bentuk tertulis. Hal ini mengandung
implikasi bahwa setiap perencanaan pembelajaran seyogyanya dibuat secara
tertulis (written plan).
Upaya
merumuskan tujuan pembelajaran dapat memberikan manfaat tertentu, baik bagi
guru maupun siswa. Nana Syaodih Sukmadinata (2002) mengidentifikasi 4 (empat)
manfaat dari tujuan pembelajaran, yaitu: (1) memudahkan dalam mengkomunikasikan
maksud kegiatan belajar mengajar kepada siswa, sehingga siswa dapat melakukan
perbuatan belajarnya secara lebih mandiri; (2) memudahkan guru memilih
dan menyusun bahan ajar; (3) membantu memudahkan guru menentukan kegiatan
belajar dan media pembelajaran; (4) memudahkan guru mengadakan penilaian.
Dalam Permendiknas RI No. 52 Tahun 2008 tentang Standar
Proses disebutkan bahwa tujuan pembelajaran memberikan petunjuk untuk memilih
isi mata pelajaran, menata urutan topik-topik, mengalokasikan waktu, petunjuk
dalam memilih alat-alat bantu pengajaran dan prosedur pengajaran, serta
menyediakan ukuran (standar) untuk mengukur prestasi belajar siswa.
d. Sarana dan prasarana pendidikan
Dalam bahasa Inggris sarana dan prasarana itu disebut dengan facility
(facilities). Jadi, sarana dan prasarana pendidikan akan disebut educational
facilities. Sebutan itu jika diadopsi ke dalam bahasa Indonesia akan
menjadi fasilitas
pendidikan.
Erat
terkait dengan sarana dan prasarana pendidikan itu, dalam daftar istilah
pendidikan dikenal pula sebutan alat bantu pendidikan
(teaching aids), yaitu segala macam peralatan yang dipakai guru
untuk membantunya memudahkan melakukan kegiatan mengajar. Alat bantu
pendidikan ini yang pas untuk disebut sebagai sarana pendidikan. Jadi, sarana pendidikan adalah segala macam
peralatan yang digunakan guru untuk memudahkan penyampaian materi pelajaran.
Lalu apa yang disebut dengan prasarana pendidikan?. Prasarana pendidikan
adalah segala macam peralatan, kelengkapan, dan benda-benda yang digunakan guru
untuk memudahkan penyelenggaraan pendidikan.
Perbedaan sarana pendidikan dan prasarana pendidikan adalah
pada fungsi masing-masing, yaitu sarana pendidikan untuk “memudahkan
penyampaian materi pelajaran, ” prasarana pendidikan untuk “memudahkan
penyelenggaraan pendidikan.” Dalam makna inilah sebutan “digunakan langsung”
dan “tidak digunakan langsung” dalam proses pendidikan seperti telah disinggung
di muka dimaksudkan. Jelasnya, disebut “langsung” itu terkait dengan
penyampaian materi (mengajarkan/belajar materi pelajaran). Papan tulis,
misalnya, digunakan langsung ketika guru mengajar (di papan tulis itu guru
menuliskan pelajaran). Meja murid tentu tidak digunakan murid untuk menulis
pelajaran, melainkan untuk “alas” murid menuliskan pelajaran (yang dituliskan
di buku tulis).
E.
Cara Meningkatkan Kualitas Pendidikan Nasional
a.
Pendidik
Mutu pendidikan dicerminkan oleh kompetensi lulusan yang
dipengaruhi oleh kualitas proses dan isi pendidikan. Pencapaian kompetensi
lulusan yang memenuhi standar harus didukung oleh isi dan proses pendidikan
yang juga memenuhi standar. Perwujudan proses pendidikan yang berkualitas
dipengaruhi oleh kinerja pendidik dan tenaga kependidikan, kualitas dan
kuantitas sarana dan prasarana, kualitas pengelolaan, ketersediaan dana, dan
sistem penilaian yang valid, obyektif dan tegas. Oleh karena itu perwujudan
pendidikan nasional yang bermutu harus didukung oleh isi dan proses pendidikan
yang memenuhi standar, pendidik dan tenaga kependidikan yang memenuhi standar
kualifikasi akademik dan kompetensi agar berkinerja optimal, serta sarana dan
prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan yang memenuhi standar.
Kinerja pendidik dan tenaga kependidikan, khususnya guru,
selain ditentukan oleh kualifikasi akademik dan kompetensi juga ditentukan oleh
kesejahteraan, karena kesejahteraan yang memadai akan memberi motivasi kepada
guru agar melakukan tugas profesionalnya secara sungguh-sungguh. Kesungguhan
seorang guru dalam melaksanakan tugas profesionalnya akan sangat menentukan
perwujudan pendidikan nasional yang bermutu, karena selain berfungsi sebagai
pengelola kegiatan pembelajaran, guru juga berfungsi sebagai pembimbing
kegiatan belajar peserta didik dan sekaligus sebagai teladan bagi peserta
didiknya, baik di kelas maupun di lingkungan sekolah.
Selain ditentukan oleh kinerja guru, upaya peningkatan mutu
pendidikan nasional juga akan sangat ditentukan oleh pelaksanaan penilaian yang
valid, obyektf dan tegas, baik penilaian oleh guru dan satuan pendidikan maupun
penilaian oleh pemerintah. Khusus penilaian oleh guru dan satuan pendidikan
mempunyai peran yang sangat penting dalam peningkatan mutu pendidikan, karena
selain bertujuan untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar
peserta didik secara berkesinambungan, juga bertujuan untuk meningkatkan
motivasi belajar peserta didik dalam rangka memelihara kontinuitas proses
belajar peserta didik.
Sertifikasi Profesi Guru dan Peningkatan Mutu Pendidikan. Jika
kita mencermati Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen, jelas bahwa undang-undang tersebut berintikan peningkatan
kesejateraan guru yang ditandai oleh adanya tunjangan khusus, tunjangan
fungsional dan tunjangan profesi pendidik. Namun harus disadari bahwa
peningkatan kesejahteraan guru yang diamanatkan oleh Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen bukan merupakan tujuan,
tetapi lebih sebagai instrumen untuk meningkatkan kinerja guru agar berdampak
terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional. Peningkatan kesejahteraan bagi
guru yang telah memenuhi standar kualifikasi akademik dan kompetensi akan
berfungsi meningkatkan kinerja, tetapi peningkatan kesejahteraan bagi guru yang
kualifikasi akademik dan kompetensinya belum memenuhi standar sulit diharapkan
untuk berdampak terhadap peningkatan kinerja sesuai yang diharapkan. Oleh
karena itu, khusus untuk tunjangan profesi pendidik hanya akan diterima oleh
guru profesional yang ditandai dengan kepemilikan sertifikat profesi guru
melalui program sertifikasi. Melalui program sertifikasi guru, akan terbentuk
guru profesional, yaitu guru yang minimal telah memenuhi standar kualifikasi
akademik dan kompetensi dan kepada mereka akan diberi tunjangan profesi
pendidik yang besarnya sama dengan satu kali gaji pokok, dan selanjutnya
diharapkan bahwa mereka akan berkinerja optimal dan pada gilirannya akan
mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. Sebaliknya kesejahteraan yang
diberikan kepada guru yang belum memenuhi standar kualifikasi akademik dan
kompetensi, sulit untuk mewujudkan kinerja yang optimal danselanjutnya juga
tidak akan berdampak terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional.
Oleh karena itu memberian tunjangan profesi pendidik sebagai
salah satu komponen kesejahteraan kepada semua guru tanpa sertifikasi tidak
akan berdampak terhadap peningkatan kinerja guru dan dengan sendirinya juga
tidak akan berdampak terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional.
Dari uraian tersebut jelas bahwa sertifikasi akan berdampak
terhadap peningkatan kinerja guru dan selanjutnya berdampak terhadap
peningkatan mutu pendidikan nasional apabila sertifikasi dapat dilakukan secara
obyektif dan valid. Artinya sertifikat profesi guru hanya diberikan kepada guru
yang telah memenuhi standar kualifikasi akademik dan benar-benar telah memiliki
standar kompetensi atau kompetensi minimal yang disyaratkan, dan hal ini hanya
akan terwujud apabila program sertifikasi dilakukan secara obyektif dan valid.
Selain itu, sertifikasi juga harus berkeadilan, dalam arti prioritas kesempatan
untuk mengikuti sertifikasi berdasarkan atas berbagai faktor yang merupakan
indikator kualitas dan prestasi guru di lapangan, seperti kesenioran (usia,
kualifikasi akademik, pengalaman akademik, kepangkatan), prestasi kerja
sehari-hari yang dinilai oleh atasan dan teman sejawat, dan kinerja profesional
yang diperlihatkan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari. Dengan demikian mudah
dipahami bahwa program sertifikasi yang dilaksanakan secara obyektif, valid dan
berkeadilan akan berpengaruh positif terhadap peningkatan kinerja guru dan
selanjutnya akan berpengaruh positif terhadap peningkatan mutu pendidikan
nasional.
Pelaksanaan Sertifikasi Guru Sertifikasi guru adalah proses
pemberian sertifikat pendidik kepada guru yang telah memenuhi standar
kualifikasi akademik dan kompetensi dengan mengacu pada Undang Undang Republik
Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik
dan Kompetensi Guru, dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 Tahun
2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan.
Sertifikasi guru akan dilaksanakan secara bertahap sesuai
dengan ketersediaan dana, baik dana untuk pelaksanaan sertifikasi maupun dana
untuk tunjangan profesi pendidik bagi guru yang nantinya lulus sertifikasi atau
mendapat sertifkat profesi guru. Sesuai informasi dari Direktorat Jenderal Peningkatan
Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional jumlah
guru yang disertifikasi Tahun 2006 sebanyak 20.000 orang guru dan Tahun 2007
sebanyak 176.000 orang guru, yang sertifikasinya hingga saat ini belum
dilaksanakan, dan baru akan dilaksanakan tahun 2007 ini, sehingga jumlah guru
yang akan disertifikasi Tahun 2007 sebanyak 196.000 orang guru.
Sesuai ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 11 ayat (2) Sertifikasi pendidik
diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga
kependidikan yangterakreditasi dan ditetapkan oleh pemerintah dan ayat (3)
Sertifikasi pendidik dilaksanakan secara obyektif, transparan, dan akuntabel. Sertifikasi
guru dalam jabatan bagi guru yang telah memenuhi standar kualifikasi akademik,
yaitu pendidikan formal minimal Sarjana (S1) atau Diploma 4 (D-4) akan
dilakukan melalui penilaian portofolio sebagai suatu bentuk uji kompetensi
untuk menilai seberapa jauh guru yang bersangkutan telah menguasai kompetensi
minimal yang disyaratkan sesuai yang tercantum dalam Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik
dan Kompetensi Guru, yang meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional.
Sertifikasi melalui uji kompetensi sesungguhnya dapat juga
dilakukan melalui tes tertulis untuk menilai penguasaan atas standar kompetensi
dan kompetensi dasar mata pelajaran sesuai bidang tugas masing-masing guru, dan
menilai penguasaan atas kompetensi pedagogik secara teoretik. Penilaian
kompetensi pedagogik dalam praktek dilakukan melalui observasi kelas oleh
assesor dari perguruan tinggi penyelenggara sertifikasi, sedang penilaian
kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial dapat dilakukan melalui
portofolio, penilaian atasan dan teman sejawat yang berlangsung secara
berkesinambungan dalam pelaksanaan tugas profesional seharihari, baik di kelas
dan di lingkungan sekolah maupun dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Bagi
guru dalam jabatan yang belum memenuhi standar kualifikasi akademik masih harus
mengikuti program peningkatan kualifikasi agar memenuhi kualifikasi akademik
yang disyaratkan sebelum mengikuti sertifikasi, baik melalui penilaian
portofolio maupun uji kompetensi seperti telah dijelaskan di atas untuk
memperoleh sertifikat profesi guru.
b.
Kurikulum
Secara teoritik perubahan kurikulum bisa dilakukan pada kurikulum
ideal (program) yang memberi dampak pada implementasinya, atau pada kurikulum
aktual (impelementasinya) saja. Perubahan yang terjadi pada kurikulum sekolah
saat ini adalah perubahan pada kurikulum ideal yang selanjutnya menuntut pula
terjadinya perubahan pada implementasinya. Perubahan ini diantaranya dilakukan
agar kurikulum tidak memberi penekanan lebih pada subjek akademis dan tidak
terlalu sentralistis.
Kurikulum subyek akademis terdiri dari bidang studi-bidang
studi yang menggambarkan berbagai disiplin ilmu. Kurikulum ini memiliki
keunggulan, selain mudah dalam merancang ruang lingkup (scope) dan urutannya
(sequens), juga mudah dalam mengevalusi keberhasilannya. Tujuan utama kurikulum
seperti ini adalah penguasaan sejumlah materi pelajaran oleh peserta didik.
Adapun diantara kelemahannya adalah isi kurikulum kurang menyentuh kebutuhan
kehidupan peserta didik, baik sebagai pribadi maupun sebagai makhluk sosial,
dan kurang mengembangkan kemampuan berpikir dan pengembangan moral. Hal ini
disebabkan: pertama, kurikulum tidak menempatkan kebutuhn peserta didik dalam
masyarakat sebagai sumber perumusan isi sehingga cenderung memunculkan
permasalahan relevansi. Kedua, proses kurikulum sekolah cenderung menuntut
peserta didik untuk menguasai sejunlah pengetahuan, tanpa diberi kesempatan
atau fasilitas melakukan proses belajar yang bersifat aktif, sehingga
memunculkan permasalahan mutu.
Kurikulum yang bersifat sentralistik proses pengembangannya
kurang memberdayakan peran sekolah dan partisipasi masyarakat setempat, serta
kurang mengacu kepada kebutuhan daerah. Kurikulum sentralistik tercermin dari
adanya kesenjangan antara cita-cita ideal seperti yang dirumuskan dalam tujuan
pendidikan dengan pelaksanaannya di sekolah. Tujuan pendidikan yang menekankan
pada pengembangan kepribadian dan aspek-aspek afektif, seperti pembentukan
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, tidak
diterjemahkan ke dalam proses pengembangan kurikulum, baik kurikulum ideal
maupun aktual. Bahkan dalam pelaksanaan kurikulum di atas, tujuan-tujuannya
direduksi pada pencapaian tujuan-tujuan yang bersifat yang lebih sarat denga
muatan kognitif.
Sebenarnya kurikulum yang bersifat subyek akademis meskipun
memiliki kelemahan-kelemahan seperti diuraikan di atas masih dipandang cocok.
Namun bila model ini digunakan perlu dicari upaya memperkecil
kelemahan-kelemahan itu. Diantara upaya-upaya itu adalah memadukan kurikulum
ini dengan model lain, seperti kurikulum humanistik, dan rekonstruksi sosial.
Dengan demikian, kurikulum ideal sebagai program pendidikan nasional
dikembangkan atas dasar subyek akademis dengan mengacu kepada
kompetensi-kompetensi yang dituntut pada setiap jenjang, seperti yang
dikembangkan KTSP. Model kurikulum ini pada hakekatnya adalah kurikulum subyek
akademis yang isinya diarahkan pada pengembangan kompetensi yang terkait dengan
berbagai subyek akademis itu.
1). Peningkatan Mutu
Pendidikan dalam Kurikulum
Kurikulum idealnya dilaksanakan dengan berorientasi kepada
pengembangan pribadi, menuju kepada kurikulum yang berorientasi pada kehidupan.
Pada tingkat sekolah dasar (SD) sejumlah kemampuan dasar untuk keperluan
pengembangan pribadi seperti kemampuan membaca, menulis, berpikir kritis, serta
keberanian mengeluarkan gagasan dan bekerja sama perlu ditonjolkan.
Selanjutnya, kurikulum yang berorientasi pada kehidupan dan pekerjaan dipadukan
dengan subyek akademik dapat digunakan pada pertengahan dan akhir pendidikan
dasar (SMP). Pada jenjang pendidikan menengah, barulah mereka belajar
berdasarkan disiplin ilmu dengan tetap bersandar pada kehidupan dan lingkungan
masyarakat sebagai sumber kurikulum.
Dalam pelaksanaan kurikulum ini tugas guru adalah
mengembangkan kompetensi peserta didik terkait dengan berbagai mata pelajaran
melalui proses pembelajarannya. Adapun fokus program pembelajaran adalah pada
apa yang akan dicapai peserta didik, bukan pada apa yang akan diajarkan oleh
guru. Untuk itu guru seharusnya mengetahui tentang kompetensi yang bisa
dikuasai oleh peserta didik, sehinggga para guru bisa membuat alokasi waktu
untuk memfasilitasi peserta didik mencapai kompetensi tersebut. Atas dasar ini
tujuan program pembelajaran di kelas adalah mengembangkan kompetensi yang
ditetapkan dalam kurikulum sepanjang waktu persekolahan. Selain itu,
pelaksanaan kurikulum idealnya menempatkan pengembangan kreativitas peserta
didik lebih dari penguasaan materi pelajaran. Peserta didik ditempatkan sebagai
subyek dalam proses pembelajaran. Komunikasi dalam pembelajaran yang bersifat
multi-arah seyogyanya dikembangkan. Pembelajaran berpikir dikembangkan dengan
menekankan pada kreativitas peserta didik untuk mencari pemahaman terhadap
obyek, menganalisis dan merekonstruksi, sehinggga terbentuk pengetahuan baru
dalam diri peserta didik. Pembelajaran bukan bertujuan mentransfer pengetahuan
atau memberikan informasi, tetapi menciptakan lingkungan yang memungkinkan
peserta didik dapat berpikir kritis dan membentuk pengetahuan dan keterampilan
yang dimanifestasikan dalam hasil belajar.
Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan kurikulum ini adalah
1) masih lemahnya analisis kebutuhan baik pada skala makro maupun mikro,
sehingga implementasi kurikulum sering tidak sesuai dengan yang
diharapkan; 2) perumusan kompetensi pada tahap mikro sering dikacaukan
dengan tujuan instruksional yang dikembangkan; 3) pemilihan pengalaman belajar;
dan 4) evaluasi masih tidak sesuai dengan tujuan kompetensi yang dikembangkan.
Untuk mengantisipasi kendala yang dihadapi, perlu diupayakan pertama, analisis
kebutuhan melibatkan masyarakat agar mendapatkan dukungan dan agar kebutuhan
mereka terakomodasi. Analisis dilakukan dengan memperhatikan perkembangan
intelektual, emosional, dan kebutuhan masyarakat saat itu. Kedua, dalam
pelaksanaan kurikulum guru mempunyai kewenangan penuh dalam mengubah strategi
pembelajaran dan materi pelajaran. Dalam merumuskan tujuan, perubahan perilaku
yang diharapkan harus tergambarkan, sehingga kemampuan guru memilah antara
kompetensi dengan tujun instruksional meningkat. Ketiga, struktur materi
pelajaran diorganisasikan mulai dari perencanaan pengajaran dalam bentuk jam
pelajaran sampai dengan evaluasi menjadi satu kesatuan yang saling berkaitan.
2). Prinsip-Prinsip
Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
KTSP pada dasarnya dimaksudkan untuk memberi kesempatan
kepada para peserta didik mengembangkan kompetensi sesuai dengan potensi
kemampuan yang dimiliki melalui berbagai upaya yang sesuai dengan karakteristik
peserta didik masing-maisng. Oleh karena dalam hal ini selain dimungkinkan
terjadinya diversifikasi kurikulum, juga metode yang digunakan bisa bervariasi.
Diversifikasi kurikulum dimungkinkan karena kurikulum ini merupakan kompetensi
minimal, sehingga dalam pelaksanaannya bisa diperluas, diperdalam, dan
disesuaikan dengan keberagaman kondisi dan kebutuhan, baik yang menyangkut
kemampuan dan potensi peserta didik maupun yang menyangkut potensi lingkungan.
Variasi metode juga dimungkinkan karena kurikulum berorientasi pada peserta
didik yang keberadaannya memiliki kebutuhan dan potensi yang berbeda-beda,
sehingga dalam proses pembelajaran guru dituntut untuk menyesuaikan metode yang
digunakan dengan keragaman kebutuhan dan potensi itu. Hal ini berarti, bahwa
sebenarnya dalam pelaksanaan kurikulum ini guru hanya memfasilitasi peserta
didik untuk belajar dalam upaya mencapai kompetensi, sehingga tidak ada metode
tunggal yang harus digunakan, dan sumber belajar yang digunakan juga bisa
berbagai macam. Untuk itu dalam rangka melaksanakan kegiatan belajar mengajar
pada kurikulum ini Departemen Pendidikan Nasional (2003) mengemukakan prinsip-prinsip
KTSP, yaitu:
a)
Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan
kepentingan peserta didik dan lingkungannya.
Kegiatan
pembelajaran berpusat pada peserta didik untuk mengembangkan kompetensinya agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan
potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan
lingkungan. Kurikulum yang dikembangkan berdiferensiasi, dengan
mempertimbangkan kebutuhan dan kepentingan peserta didik yang berbeda-beda.
Mata pelajaran yang diajarkan dapat menarik dan merangsang peserta didik agar
dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya.
b). Beragam dan terpadu
Pengembangan
kurikulum memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah,
jenjang dan jenis pendidikan, serta menghargai dan tidak diskriminatif terhadap
perbedaan agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan
jender. Kurikulum haruslah luas mencakup seluas-luasnya mata pelajaran dan
muatan di setiap mata pelajaran. Harus ada keterkaitan diantara butir-butir
kurikulum.
c). Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
Pengembangan
kurikulum berdasarkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang berkembang
secara dinamis. Sains, teknologi, dan seni berkembang begitu cepatnya.
Kurikulum hendaknya memberikan pengalaman belajar kepada peserta didik untuk
mengikuti dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
d). Relevan dengan kebutuhan kehidupan
Pengembangan
kurikulum relevan dengan kebutuhan kehidupan; kehidupan sehari-hari peserta
didik, kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu,
sudah seharusnya kurikulum mengembangkan beberapa keterampilan atau keahlian
menghadapi hidup (life skills) yaitu keterampilan pribadi, berpikir,
sosial, akademik, dan vokasional. Kurikulum melayani kebutuhan peserta didik
masa kini dan masa yang akan datang.
e). Menyeluruh atau komprehensif dan berkesinambungan
Menyeluruh atau
komprehensif adalah mencakup keseluruhan kompetensi, keilmuan, mata pelajaran
yang dipelajari, metode pembelajaran yang dipergunakan dan pengalaman belajar
yang tersedia.. Berkesinambungan artinya keseluruhan kompetensi, keilmuan dan
mata pelajaran itu direncanakan dan disajikan antarsemua jenjang pendidikan.
Terdapat perkembangan dalam pembelajaran berupa rangkaian yang logis dari apa
yang para peserta didik pelajari. Satu pengalaman belajar akan dibangun dari
pengalaman belajar sebelumnya.
f). Belajar seumur hidup
Peserta didik
belajar seumur hidup melalui proses pengembangan, pembudayaan, dan pemberdayaan.
Pengembangan kurikulum meliputi pendidikan formal, nonformal, dan informal
dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang
serta arah pengembangan manusia seutuhnya. Kurikulum menekankan pada bagaimana
cara peserta didik belajar dan memberikan kompetensi yang diperlukan untuk
terus belajar. Selain itu juga memberikan keahlian kepada peserta didik
yang perlu dipelajari agar dapat terus belajar sepanjang hidupnya.
g). Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah
Kepentingan nasional
dan daerah yang seimbang, saling mendukung, dan memberdayakan bertujuan untuk
membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sekolah perlu
mempertimbangkan minat dari masyarakat dan daerah dengan mengacu pada kerangka
kerja umum dari pemerintah nasional.
Diharapkan dengan adanya KTSP ini nantinya guru-guru bisa
merancang kurikulum atau program belajar pada mata pelajaran yang dikuasainya,
sehingga bisa memfasilitasi peserta didik belajar dengan baik. Namun demikian,
KTSP pun belum tentu berhasil dengan baik kalau guru-guru ini hanya berdiri
sendiri dan bekerja sendiri secara indvidual tanpa berkomunikasi dengan yang
lain. Dengan memahami KTSP diharapkan lembaga-lembaga pendidikan terutama di
lingkungan Direktorat Jendral Pendidikan Islam bisa berhasil dalam meningkatkan
kualitasnya dan benar-benar bisa sesuai dengan harapan masyarakat, karena
sebetulnya yang namanya mutu pendidikan itu harus sesuai dengan harapan
masyarakat
c.
Tujuan
Pembelajaran
Seiring dengan pergeseran teori dan cara pandang dalam
pembelajaran, saat ini telah terjadi pergeseran dalam perumusan tujuan
pembelajaran. W. James Popham dan Eva L. Baker (2005) mengemukakan pada masa
lampau guru diharuskan menuliskan tujuan pembelajarannya dalam bentuk bahan
yang akan dibahas dalam pelajaran, dengan menguraikan topik-topik atau
konsep-konsep yang akan dibahas selama berlangsungnya kegiatan pembelajaran.
Tujuan pembelajaran pada masa lalu ini tampak lebih mengutamakan pada
pentingnya penguasaan bahan bagi siswa dan pada umumnya yang dikembangkan
melalui pendekatan pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher-centered).
Namun seiring dengan pergeseran teori dan cara pandang dalam pembelajaran,
tujuan pembelajaran yang semula lebih memusatkan pada penguasaan bahan,
selanjutnya bergeser menjadi penguasaan kemampuan siswa atau biasa dikenal
dengan sebutan penguasaan kompetensi atau performansi. Dalam praktik pendidikan
di Indonesia, pergeseran tujuan pembelajaran ini terasa lebih mengemuka
sejalan dengan munculnya gagasan penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Selanjutnya, W. James Popham dan Eva L. Baker (2005) menegaskan bahwa seorang
guru profesional harus merumuskan tujuan pembelajarannya dalam bentuk perilaku
siswa yang dapat diukur yaitu menunjukkan apa yang dapat dilakukan oleh siswa
tersebut sesudah mengikuti pelajaran.
Berbicara tentang perilaku siswa sebagai tujuan belajar, saat
ini para ahli pada umumnya sepakat untuk menggunakan pemikiran dari Bloom
(Gulo, 2005) sebagai tujuan pembelajaran. Bloom mengklasifikasikan perilaku individu ke dalam tiga ranah atau kawasan, yaitu: (1)
kawasan kognitif yaitu kawasan yang berkaitan aspek-aspek intelektual atau
berfikir/nalar, di dakamnya mencakup: pengetahuan (knowledge),
pemahaman (comprehension), penerapan (application),
penguraian (analysis), memadukan (synthesis), dan penilaian (evaluation);
(2) kawasan afektif yaitu kawasan yang berkaitan aspek-aspek emosional, seperti
perasaan, minat, sikap, kepatuhan terhadap moral dan sebagainya, di dalamnya
mencakup: penerimaan (receiving/attending), sambutan (responding),
penilaian (valuing), pengorganisasian (organization), dan
karakterisasi (characterization); dan (3) kawasan psikomotor yaitu
kawasan yang berkaitan dengan aspek-aspek keterampilan yang melibatkan fungsi
sistem syaraf dan otot (neuronmuscular system) dan fungsi psikis.
Kawasan ini terdiri dari : kesiapan (set), peniruan (imitation,
membiasakan (habitual), menyesuaikan (adaptation) dan
menciptakan (origination). Taksonomi ini merupakan kriteria yang dapat
digunakan oleh guru untuk mengevaluasi mutu dan efektivitas pembelajarannya.
Dalam sebuah perencanaan pembelajaran tertulis (written
plan/RPP), untuk merumuskan tujuan pembelajaran tidak dapat dilakukan
secara sembarangan, tetapi harus memenuhi beberapa kaidah atau kriteria
tertentu. W. James Popham dan Eva L. Baker (2005) menyarankan dua
kriteria yang harus dipenuhi dalam memilih tujuan pembelajaran, yaitu: (1) preferensi
nilai guru yaitu cara pandang dan keyakinan guru mengenai apa yang penting
dan seharusnya diajarkan kepada siswa serta bagaimana cara membelajarkannya;
dan (2) analisis taksonomi perilaku sebagaimana dikemukakan oleh
Bloom di atas. Dengan menganalisis taksonomi perilaku ini, guru akan dapat
menentukan dan menitikberatkan bentuk dan jenis pembelajaran yang akan
dikembangkan, apakah seorang guru hendak menitikberatkan pada pembelajaran
kognitif, afektif ataukah psikomotor.
Menurut Oemar Hamalik (2005) bahwa komponen-komponen yang
harus terkandung dalam tujuan pembelajaran, yaitu (1) perilaku terminal, (2)
kondisi-kondisi dan (3) standar ukuran. Hal senada dikemukakan Mager (Hamzah B.
Uno, 2008) bahwa tujuan pembelajaran sebaiknya mencakup tiga komponen utama,
yaitu: (1) menyatakan apa yang seharusnya dapat dikerjakan siswa selama belajar
dan kemampuan apa yang harus dikuasainya pada akhir pelajaran; (2) perlu
dinyatakan kondisi dan hambatan yang ada pada saat mendemonstrasikan perilaku
tersebut; dan (3) perlu ada petunjuk yang jelas tentang standar penampilan
minimum yang dapat diterima.
Berkenaan
dengan perumusan tujuan performansi, Dick dan Carey (Hamzah Uno, 2008)
menyatakan bahwa tujuan pembelajaran terdiri atas: (1) tujuan harus menguraikan
apa yang akan dapat dikerjakan atau diperbuat oleh anak didik; (2) menyebutkan
tujuan, memberikan kondisi atau keadaan yang menjadi syarat yang hadir
pada waktu anak didik berbuat; dan (3) menyebutkan kriteria yang
digunakan untuk menilai unjuk perbuatan anak didik yang dimaksudkan pada tujuan
Telah dikemukakan di atas bahwa tujuan pembelajaran harus
dirumuskan secara jelas. Dalam hal ini Hamzah B. Uno (2008) menekankan
pentingnya penguasaan guru tentang tata bahasa, karena dari rumusan tujuan
pembelajaran itulah dapat tergambarkan konsep dan proses berfikir guru yang
bersangkutan dalam menuangkan idenya tentang pembelajaran.
Pada
bagian lain, Hamzah B. Uno (2008) mengemukakan tentang teknis penyusunan tujuan
pembelajaran dalam format ABCD. A=Audience
(petatar, siswa, mahasiswa, murid dan sasaran didik lainnya), B=Behavior
(perilaku yang dapat diamati sebagai hasil belajar), C=Condition
(persyaratan yang perlu dipenuhi agar perilaku yang diharapkan dapat tercapai,
dan D=Degree (tingkat penampilan yang dapat diterima).
d.
Sarana Dan
Prasarana Pendidikan
Sarana pendidikan itu berdasarkan fungsinya dapat
dibedakan menjadi:
1.
Alat pelajaran
Alat pelajaran adalah alat-alat yang digunakan untuk rekam-merekam
bahan pelajaran atau alat pelaksanaan kegiatan belajar.
Yang disebut dengan kegiatan “merekam” itu bisa berupa menulis, mencatat,
melukis, menempel (di TK), dan sebagainya.
Papan
tulis, misalnya, termasuk alat pelajaran jika digunakan guru untuk menuliskan
materi pelajaran. Termasuk juga kapur atau spidol dan penghapus papan tulis.
Alat pelajaran yang bukan alat rekam-merekam pelajaran, melainkan alat
kegiatan belajar, adalah alat-alat pelajaran olah raga (bola, lapangan, raket,
dsb), alat-alat praktikum, dan alat-alat pelajaran yang digunakan di TK
(gunting, kertas lipat, perekat dsb).
2.
Alat peraga
Alat peraga adalah segala
macam alat yang digunakan untuk meragakan (mewujudkan, menjadikan terlihat)
objek atau materi pelajaran. Manusia punya raga (jasmani,
fisik), karena itu manusia terlihat. Dengan kata lain, bagian raga dari makhluk
manusia merupakan bagian yang tampak. Itu intinya “meragakan,” yaitu menjadikan
sesuatu yang “tak terlihat” menjadi terlihat.
“Tak
terlihat” . Alat peraga dibedakan menjadi dua macam, yaitu: (1) alat
peraga sebenarnya, dan (2) alat peraga tiruan. Bunga dalam materi pelajaran
tentang bunga dapat diragakan oleh bunga asli, bisa dengan gambar bunga. Otak
manusia sangat sulit untuk diragakan oleh benda aslinya, jadi dibuat alat
peraga tiruan berupa gambarnya atau “bonekanya.” Murid (dan guru) tidak
bisa “melihat” pulau-pulau yang terletak di Indonesia, maka lalu dibuatlah peta
untuk meragakan bentuk dan letaknya.
3.
Media pendidikan
Media
pendidikan (media pengajaran) itu sesuatu yang agak lain sifatnya dari alat
pelajaran dan alat peraga. Alat pelajaran dan alat peraga memerlukan keberadaan
guru. Alat pelajaran dan alat peraga membantu guru dalam mengajar. Guru
mengajarkan materi pelajaran dibantu (agar murid dapat menangkap pelajaran
lebih baik) oleh alat pelajaran dan alat peraga. Oleh media, di sisi lain
guru bisa “dibantu digantikan” keberadaannya. Dengan kata lain, guru bisa tidak
ada di kelas, digantikan oleh media. Secara bahasa (asal-usul bahasa atau
etimologis) media (medium) itu merupakan perantara. Media (medium) dalam
konteks pendidikan, mempunyai makna sama dengan media dalam komunikasi (karena
pendidikan itu juga komunikasi). Media komunikasi merupakan perantara
penyampaian pesan (messages) yang berupa informasi dan sebagainya,
dari komunikator (“pembicara”) ke komunikan (yang diajak “bicara”).
Surat kabar merupakan media komunikasi masa dari
“orang-orang surat
kabar” kepada masa (publik, masyarakat). Jadi, inti makna media adalah sesuatu
(apapun) yang di dalamnya terkandung pesan (message) komunikasi, merupakan
saluran (perantara) komunikasi. Dengan pengertian dasar serupa itu, maka yang
disebut media
pendidikan dapat didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berisikan
pesan berupa materi pelajaran dari pihak pemberi materi pelajaran kepada pihak
yang diberi pelajaran, misalnya
buku pelajaran, CD berisi materi pelajaran, tayangan TV yang berupa materi pelajaran,
rekaman suara yang berupa materi pelajaran, dan sebagainya. Agar tidak kacau
balau menyamamaknakan alat peraga sebagai media pendidikan, harus dicermati
sifat khas media, yaitu ada pesan komunikasi pendidikan di dalamnya yang berupa
materi pelajaran:
(1)
tuntas, yaitu sudah menyeluruh;
(2)
jelas, tidak memerlukan penjelasan dari guru;
(3)
bisa “ditangkap” langsung oleh murid.
Prasarana pendidikan
adalah segala macam alat, perlengkapan, atau benda-benda yang dapat digunakan
untuk memudahkan (membuat nyaman) penyelenggaraan pendidikan. Ruang
kelas itu termasuk prasarana pendidikan. Meja dan kursi itu termasuk prasarana
pendidikan. Jelasnya, kegiatan belajar di ruang kelas (yang sejuk dan sehat)
tentu lebih nyaman dibandingkan di luar ruangan yang panas berdebu. Belajar
dengan duduk di kursi yang nyaman tentu lebih enak daripada duduk di bangku
yang reyot atau “lesehan” (duduk-duduk bersila). Menulis beralaskan meja tentu
lebih nyaman dibandingkan menulis beralaskan lantai
F.
Peran pemerintah dalam mengatasi kualitas
pendidikan
Pemerintah memegang peranan penting dalam meningkatkan kualitas
pendidikan anak-anak Indonesia, terutama mulai dari ketersediaan sarana dan
prasarana minimal berupa gedung sekolah yang layak, hingga sampai pada
ketersediaan berbagai fasilitas pendukung pendidikan lainnya. Beberapa hal yang
sangat penting adalah perbaikan system pendidikan maupun perbaikan komponen-komponen
pendidikan. Komponen pendidikan sangat menunjang bagi kelangsungan berjalannya
proses belajar-mengajar di sekolah.
Banyaknya
permasalahan pendidikan terutama masalah kualitasnya, maka pemerintah Indonesia
banyak mengusahakan berbagai cara untuk memperbaiki permasalahan-permasalahan
yang telah diungkapkan diatas. Beberapa cara tersebut diantaranya adalah
1.
Adanya dana BOS untuk melancarkan
program wajar 9 tahun.
2.
Sertifikasi dalam kaitannya dengan
peningkatan mutu/kualitas guru.
3.
Perbaikan-perbaikan kurikulum dari tahun
ke tahun, hal ini menunjukkan bahwa pemerintah selalu berusaha mencari metode
yang tepat dan pas untuk pendidikan di Indonesia.
4.
Program penataran/pelatihan-pelatihan
tertentu bagi guru
5.
Munculnya kebijakan desentralisasi
pendidikan. Kebijakan ini dimaksudkan bahwa pemerintah pusat tak lagi harus
terlalu mengambil bagian dalam menangani permasalahan pendidikan di daerah.
Karena keputusan dari pusat tak selalu tepat bagi penyelesaian masalah
pendidikan daerah. Dari program ini pula pemerintah daerah dianggap lebih
mengetahui titik penyelesaiannya.
6.
Pemerintah juga memberikan kebijakan
bagi lulusan siswa smp untuk melanjutkan ke SMK, dimaksudkan agar lulusannya
dapat langsung terserap ke dunia kerja dan mengurangi tingkat pengangguran yang
kian melonjak.
7.
Bagi anak berkebutuhan khusus maka di
Indonesia mulai dirancang tentang pendidikan inklusi yang bermaksud untuk
menyamakan atau mempersamakan perbedaan yang terjadi, persmaan kesemapatan
belajar. Dan bagi kebijakan ini diperlukan adanya guru-guru yang trampil dan
cekatan serta mengetahui semua kondisi siswa, serta untuk sarana prasarana
dibutuhkan perhatian yang lebih, karena sekolah inklusi ini membutuhkan segala
sarana-prasarana yang dibutuhkan oleh siswa sesuai dengan kondisinya.
Pada dasarnya
peran pemerintah sangat menentukan dalam memperbaiki kualitas pendidikan bangsa
ini, namun tentu saja itu juga dibutuhkan campur tangan dari peran serta
keluarga dalam pendidikan informalnya.
G.
Kesimpulan
Isu pendidikan telah menjadi bagian dari
dinamika pendidikan di negeri ini. Dari jaman ke jaman ada isu yang masih terus
hidup dan ada pula yang hilang kemudian digantikan dengan yang baru. Seperti
masalah yang kali ini terus mencuat dan bergulir mengenai kualitas pendidikan.
Kualitas pendidikan kita yang lebih rendah dari Malaysia dan Singapura
membuktikan bahwa pendidikan di Indonesia perlu dibenahi. Untuk mencapai semua itu, kita harus berpikir
keras dalam mencari solusi yang tepat.
Salah satu
standar yang berkaitan langsung dengan keberhasilan penyelenggaraan pendidikan
adalah standar pendidik dan tenaga kependidikan, khususnya guru. Mutu
pendidikan dicerminkan oleh kompetensi lulusan yang dipengaruhi oleh kualitas
proses dan isi pendidikan. Pemerintah memegang peranan penting dalam
meningkatkan kualitas pendidikan anak-anak Indonesia, terutama mulai dari
ketersediaan sarana dan prasarana minimal berupa gedung sekolah yang layak,
hingga sampai pada ketersediaan berbagai fasilitas pendukung pendidikan
lainnya. Berbagai hal yang mempengaruhi kualitas pendidikan adalah suatu
perbaikan pada komponen pendidikan itu sendiri, oleh karena itu memperbaiki
kualitas pendidikan harusnya memperhatikan perbaikan komponen pendidikan.
DAFTAR
PUSTAKA
Tilaar, HAR. Membenahi
Pendidikan Nasional.
Tilaa, HAR.
2006. Standarisasi Pendiidkan Nasiona,
Suatu Tinjauan Kritisl. Jakarta : PT Rineka Cipta.
www.wordpress.com,
diakses pada tanggal 15 Juli 2010
www.ilmupendidikan.net,
diakses pada tanggal 15 Juli 2010
cindropramedwari.blogspot.com, diakses pada
tanggal 15 Juli 2010