Kamis, 07 Juni 2012

penetapan angka kredit


A. Latar Belakang
            Isu pendidikan telah menjadi bagian dari dinamika pendidikan di negeri ini. Dari jaman ke jaman ada isu yang masih terus hidup dan ada pula yang hilang kemudian digantikan dengan yang baru. Seperti masalah yang kali ini terus mencuat dan bergulir mengenai kualitas pendidikan. Kata kualitas tak asing lagi di telinga kita apalagi di kehidupan modern ini. Selayaknya makanan yang penting untuk hidup, kualitas pun menjadi penting untuk memajukan pendidikan negeri ini. Isu yang terdengar tentang kualitas pendidikan Indonesia yang buruk, menjadikan bahan berpikir untuk kita telusuri apa yang sebenarnya melandasi masalah ini.
            Pemerintah sudah menganggarkan 20% dari APBN untuk memenuhi kebutuhan dalam peningkatan mutu pendidikan. Akan tetapi, kenyataan yang ada belum cukup dan masih terus bergulir masalah mengenai mutu. Keadaan yang tidak kondusif di negara ini juga mempengaruhi kualitas pendidikan yang semakin menurun. Ketersediaan sarana dan prasarana penunjang pembelajaran pun masih jauh dari kata cukup dan layak. Di tunjang pula oleh tenaga pendidik yang belum memenuhi kriteria untuk menjadi pendidik yang berkompeten dan peserta didik yang belum memaksimalkan potensi yang dimiliki. Lihat saja yang terjadi, kurikulum selalu berganti-ganti dan tujuan pendidikan yang tak jelas menambah panjang masalah kualitas pendidikan yang harus diselesaikan.
            Kualitas pendidikan kita yang lebih rendah dari malaysia dan singapura membuktikan bahwa pendidikan di Indonesia perlu dibenahi.  Untuk mencapai semua itu, kita harus berpikir keras dalam mencari solusi yang tepat. Sekolah-sekolah yang ada ikut bersaing untuk mendapatkan nama sekolah berkualitas. Sekolah berlevel internasional pun turut hadir dengan menawarkan sekolah unggulnya. Lantas, sebenarnya pendidikan yang seperti apa yang dapat meningkatkan kualitas dan lepas dari ketertinggalan ini?
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah di atas, dapat diambil beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana menurut UNESCO tentang karakter mutu pendidikan?
2.      Faktor-faktor apa saja yang menentukan kualitas pendidikan?
  1. Bagaimana cara meningkatkan kualitas pendidikan?
  2. Bagaimana peran pemerintah dalam mengatasi kualitas pendidikan?

C. Karakter Mutu Pendidikan Menurut UNESCO
Menurut UNESCO, ada lima dimensi yang terkait dengan mutu pendidikan yaitu:
1. Karakteristik pembelajar (learner characteristics)
Dimensi ini sering disebut sebagai masukan (inputs) atau malah masukan kasar (raw inputs) dalam teori fungsi produksi (production function theory), yaitu peserta didik atau pembelajar dengan berbagai latar belakangnya, seperti pengetahuan (aptitude), kemauan dan semangat untuk belajar (perseverance), kesiapan untuk bersekolah (school readiness), pengetahuan siap sebelum masuk sekolah (prior knowledge), dan hambatan untuk pembelajaran (barriers to learning) terutama bagi anak luar biasa. Banyak factor latar belakang peserta didik yang sangat mempengaruhi mutu pendidikan di negeri ini. Banyak anak usia sekolah yang tidak didukung oleh kondisi yang kondusif, misalnya peserta didik yang berasal dari keluarga tidak mampu, keluarga pecah (broken home), kesehatan lingkungan, pola asuh anak usia dini, dan faktor-faktor lain-lainnya. Dimensi ini menjadi faktor awal yang mempengaruhi mutu pendidikan.
2.Pengupayaan masukan (enabling inputs)
Ada dua macam masukan yang akan mempengaruhi mutu pendidikan yang dihasilkan, yaitu sumber daya manusia dan sumber daya fisikal. Guru atau pendidik, kepala madrasah, pengawas, dan tenaga kependidikan lain menjadi sumber daya manusia (human resources) yang akan mempengaruhi mutu hasil belajar siswa (outcomes). Proses belajar mengajar tidak dapat berlangung dengan nyaman dan aman jika fasilitas belajar, seperti gedung sekolah, ruang kelas, buku dan bahan ajar lainnya (learning materials), media dan alat peraga yang dapat diupayakan oleh sekolah, termasuk perpustakaan dan laboratorium, bahkan juga kantin sekolah, dan fasilitas pendidikan lainnya, seperti buku pelajaran dan kurikulum yang digunakan di sekolah. Semua itu dikenal sebagai infrastruktur fisikal (physical infrastructure atau facilities). Singkat kata, mutu SDM yang tersedia di sekolah dan mutu fasilitas sekolah merupakan dua macam masukan yang sangat berpengaruh terhadap mutu pendidikan.
3.Proses belajar-mengajar (teaching and learning)
Dimensi ketiga ini sering disebut sebagai kotak hitam (black box) masalah pendidikan. Dalam kotak hitam ini terdapat tiga komponen utama pendidikan yang saling berinteraksi satu dengan yang lain, yaitu peserta didik, pendidik, dan kurikulum. Tanpa peserta didik, siapa yang akan diajar? Tanpa pendidik, siapa yang akan mengajar, dan tanpa kurikulum, bahan apa yang akan diajarkan? Oleh karena itu mutu proses belajar mengajar, atau mutu interaksi edukatif yang terjadi di ruang kelas, menjadi faktor yang amat berpengaruh terhadap mutu pendidikan. Efektivitas proses belajar-mengajar dipengaruhi oleh: (1) lama waktu belajar, (2) metode mengajar yang digunakan, (3) penilaian, umpan balik, bentuk penghargaan bagi peserta didik, dan (4) jumlah peserta didik dalam satu kelas. Ruang kelas di Indonesia sangat kering dengan media dan alat peraga. Pakar pendidikan, Dr. Arif Rahman, M.Pd. sering menyebutkan bahwa ruang kelas ibarat menjadi penjara bagi anak-anak. Jika diumumkan ada rapat dewan pendidik, dalam arti tidak ada kelas, maka bersoraklah para siswa, ibarat keluar dari pintu penjara tersebut. Sesungguhnya, di sinilah kelemahan terbesar pendidikan di negeri ini. Proses belajar mengajar di ruang kelas sangat kering dari penggunaan teknik penguatan (reinforcement), kering dari penggunaan media dan alat peraga yang menyenangkan. Dampaknya, dapat dibaca, yaitu hasil belajar yang belum memenuhi standar mutu yang ditentukan. Sentral permasalahan lemahnya proses belajar mengajar di dalam kelas ini, sebenarnya sudah diketahui, yakni kualifikasi dan kompetensi guru. Setengah guru Indonesia belum memenuhi standar kualifikasi. Apalagi dengan standar kompetensinya. Timbullah istilah ‘guru tak layak’. Belum lagi dengan masalah kesejahteraannya. Ada pendapat yang menyatakan bahwa semua masalah bersumber dari masalah kesejahteraan. Memang, kesejahteraan guru menjadi salah satu syarat agar guru dapat disebut sebagai profesi, selain (1) memerlukan keahlian, (2) keahlian itu diperoleh dari proses pendidikan dan pelatihan, (3) keahlian itu diperlukan masyarakat, (4) punya organisasi profesi, (5) keahlian yang dimiliki dibayar dengan gaji yang memadai.
4.Hasil belajar (outcomes)
Hasil belajar adalah sasaran yang diharapkan oleh semua pihak. Di sini memang terjadi perbedaan harapan dari pihak-pihak tersebut. Pihak dunia usaha dan industri (DUDI) mengharapkan lulusan yang siap pakai. Pendidikan kejuruan dipacu agar dapat memenuhi harapan ini. Sedang pihak praktisi pendidikan pada umumnya cukup berharap lulusan yang siap latih. Alasannya, agar DUDI dapat memberikan peran lebih besar lagi dalam memberikan pelatihan. Setidaknya, semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan menghasilkan lulusan yang dapat membaca dan menulis (literacy), berhitung (numeracy), dan kecakapan hidup (life skills) Ini memang pasti. Selain itu, peserta didik harus memiliki kecerdasan emosional dan sosial (emotional dan social intelligences), nilai-nilai lain yang diperlukan masyarakat. Terkait dengan berbagai macam kecerdasan, Howard Gardner menegaskan bahwa “satu-satunya sumbangan paling penting untuk perkembangan anak adalah membantunya untuk menemukan bidang yang paling cocok dengan bakatnya”. Hasil belajar yang akan dicapai sesungguhnya yang sesuai dengan potensinya, sesuai dengan bakat dan kemampuannya, serta sesuai dengan tipe kecerdasannya, di samping juga nilai-nilai kehidupan (values) yang diperlukan untuk memeliharan dan menstransformasikan budaya dan kepribadian bangsa. Dalam perspektif psikologi pendidikan dikenal sebagai ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dalam perspektif sosial dikenal dengan istilah 3H (head, heart, hand). Tokoh pendidikan dari Minang mengingatkan bahwa “Dari pohon rambutan jangan diminta berbuah mangga, tapi jadikanlah setiap pohon mangga itu menghasilkan buah mangga yang manis” (Muhammad Sjafei, INS). Semua itu pada dasarnya untuk mencapai tujuan pendidikan nasional
5.Konteks (contexts) atau lingkungan (environments)
Lingkungan sangat berpengaruh terhadap hasil pendididikan siswa, karena mereka hidup alam konteks lingkungan sekitarnya, baik lingkungan sekolah atau keluarga, atau lingkungan pergaulan siswa.
D.  Faktor-Faktor Mutu atau Kualitas Pendidikan Nasional
a.      Pendidik
Sistem pendidikan nasional dimaksudkan untuk menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan, serta efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global. Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menetapkan delapan standar nasional pendidikan yang harus menjadi acuan sekaligus kriteria dalam menetapkan keberhasilan penyelenggaran pendidikan nasional. Delapan standar nasional pendidikan yang dimaksud meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan.
Salah satu standar yang berkaitan langsung dengan keberhasilan penyelenggaraan pendidikan adalah standar pendidik dan tenaga kependidikan, khususnya guru. Guru sebagai tenaga profesional bertugas mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional tersebut, guru sebagai tenaga profesional wajib memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi, serta sehat jasmani dan rohani, sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Kualifikasi akademik untuk guru adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang guru yang dibuktikan dengan ijazah yang mencerminkan kemampuan akademik yang relevan dengan bidang tugas guru. Kompetensi guru adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru telah ditetapkan dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru yang meliputi Guru TK/RA, Guru SD/MI, Guru SMP/MTs, Guru SMA/MA dan Guru SMK/MAK untuk kelompok mata pelajaran normatif dan adaptif.
Pencapaian standar kualifikasi akademik dan penguasaan kompetensi guru dibuktikan melalui sertifikat profesi guru yang diperoleh melalui program sertifikasi. Dengan kata lain, sertifikasi adalah proses untuk mengukur dan menilai pencapaian kualifikasi akademik dan kompetensi minimal yang dicapai oleh seorang guru. Guru profesional yang memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi yang memenuhi standar akan mampu mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. Oleh karena itu, program sertifikasi merupakan salah satu program utama untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.
b.      Kurikulum
Dalam peningkatan mutu sistem pendidikan nasional kurikulum mempunyai peran sangat besar dan penting. Kurikulum adalah alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Pembaharuan sistem pendidikan akan membawa arti jika dilakukan dengan melakukan penataan kurikulum. Dengan kurikulum idealisasi tentang wujud penyelenggaraan pendidikan dapat diperkirakan, baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan. Dapatlah dikatakan bahwa kurikulum seperti digambarkan itu sebagai sesuatu yang dicita-citakan dalam bidang pendidikan. Sebagaimana diketahui, bahwa setiap cita-cita merupakan sesuatu harapan. Jadi apa yang direncanakan dalam kurikulum yang bersifat formal (resmi) pada dasarnya mencerminkan cita-cita (idealisasi) tentang wujud hasil pendidikan yang ingin dicapai. Oleh karena itu kurikulum semacam ini dapat dipandang sebagai kurikulum formal atau kurikulum ideal. Kurikulum itu pada prinsipnya di dalam ilmunya ada dua bentuk, yaitu formal kurikulum atau kurikulum resmi, atau kurikulum ideal dan informal kurikulum. Kurikulum resmi adalah kurikulum yang disusun secara resmi oleh pemerintah seperti Garis-garis Besar Program Pembelajaran (GBPP) dan segala macamnya, oleh karena itu kurikulum formal sering pula disebut kurikulum yang tertulis. Sedangkan kurikulum informal atau kurikulum tidak resmi, atau kurikulum tidak nyata adalah pelaksanaan kurikulum dalam praktek pembelajaran. Pengertian kurikulum ini sangat fundamental dan menggambarkan posisi sesungguhnya kurikulum dalam suatu proses pendidikan, karena kurikulum dianggap sebagai “the heart of education” (Hasan, 2007).
Kurikulum sekolah yang semula berbasis pada isi (content base) mulai tahun 2004 diubah menjadi kurikulum berbasis kompetensi (competence base). Dengan kurikulum semacam ini rumusan kompetensi yang dituangkan dalam kurikulum merupakan standar kemampuan minimal yang harus dimiliki oleh setiap keluaran sekolah yang ditetapkan secara nasional. Dalam pelaksanaannya, untuk mencapai kompetensi dasar ini disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan daerah dan sekolah masing-masing, dan untuk mencapai hal itu diperlukan adanya standar yang dijadikan kriteria keberhasilan, yang terkait dengan: (1) apa yang diketahui dan dapat dilakukan oleh peserta didik, (2) program pembelajaran yang mengembangkan cara-cara belajar, 3) program pengajaran ilmu-ilmu dasar dan budi pekerti, dan 4) acuan pokok penilaian atau indikator penilaian. Melalui perubahan kurikulum ini standar nasional yang dimasukan untuk menjadikan pendidikan nasional unggul dan bermutu diharapkan dapat dicapai di masa yang akan datang.
c.       Tujuan pembelajaran
Salah satu sumbangan terbesar dari aliran psikologi behaviorisme terhadap pembelajaran bahwa pembelajaran seyogyanya memiliki tujuan. Gagasan perlunya tujuan dalam pembelajaran pertama kali dikemukakan oleh B.F. Skinner pada tahun 1950. Kemudian diikuti oleh Robert Mager pada tahun 1962 yang dituangkan dalam bukunya yang berjudul Preparing Instruction Objective. Sejak pada tahun 1970 hingga sekarang penerapannya semakin meluas  hampir  di seluruh lembaga pendidikan di dunia, termasuk di Indonesia.
Merujuk pada tulisan Hamzah B. Uno (2008) berikut ini dikemukakan beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli. Robert F. Mager (1962) mengemukakan bahwa tujuan pembelajaran adalah perilaku yang hendak dicapai atau yang dapat dikerjakan oleh siswa pada kondisi dan tingkat kompetensi tertentu.  Kemp (1977) dan David E. Kapel (1981) menyebutkan bahwa tujuan pembelajaran suatu pernyataan yang spesifik yang dinyatakan dalam perilaku atau penampilan yang diwujudkan dalam bentuk tulisan untuk menggambarkan hasil belajar yang diharapkan. Henry Ellington (1984) bahwa tujuan pembelajaran adalah pernyataan yang diharapkan dapat dicapai sebagai hasil belajar. Sementara itu, Oemar Hamalik (2005) menyebutkan bahwa tujuan pembelajaran adalah suatu deskripsi mengenai tingkah laku yang diharapkan tercapai oleh siswa setelah berlangsung pembelajaran .
Meski para ahli memberikan rumusan tujuan pembelajaran yang beragam, tetapi semuanya menunjuk pada esensi yang sama, bahwa : (1) tujuan pembelajaran adalah tercapainya perubahan perilaku atau kompetensi pada siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran; (2) tujuan dirumuskan dalam bentuk pernyataan atau deskripsi yang spesifik.  Yang menarik untuk digarisbawahi  yaitu dari pemikiran Kemp dan David E. Kapel bahwa perumusan tujuan pembelajaran harus diwujudkan dalam bentuk tertulis. Hal ini mengandung implikasi bahwa setiap perencanaan pembelajaran seyogyanya dibuat secara tertulis (written plan).
Upaya merumuskan tujuan pembelajaran dapat memberikan manfaat tertentu, baik bagi guru maupun siswa. Nana Syaodih Sukmadinata (2002) mengidentifikasi 4 (empat) manfaat dari tujuan pembelajaran, yaitu: (1) memudahkan dalam mengkomunikasikan maksud kegiatan belajar mengajar kepada siswa, sehingga siswa dapat melakukan perbuatan belajarnya secara  lebih mandiri; (2) memudahkan guru memilih dan menyusun bahan ajar; (3) membantu memudahkan guru menentukan kegiatan belajar dan media pembelajaran; (4) memudahkan guru mengadakan penilaian.
Dalam Permendiknas RI No. 52 Tahun 2008 tentang Standar Proses disebutkan bahwa tujuan pembelajaran memberikan petunjuk untuk memilih isi mata pelajaran, menata urutan topik-topik, mengalokasikan waktu, petunjuk dalam memilih alat-alat bantu pengajaran dan prosedur pengajaran, serta menyediakan ukuran (standar) untuk mengukur prestasi belajar siswa.
d.      Sarana dan prasarana pendidikan
Dalam bahasa Inggris sarana dan prasarana itu disebut dengan facility (facilities). Jadi, sarana dan prasarana pendidikan akan disebut educational facilities. Sebutan itu jika diadopsi ke dalam bahasa Indonesia akan menjadi fasilitas pendidikan.
Erat terkait dengan sarana dan prasarana pendidikan itu, dalam daftar istilah pendidikan dikenal pula sebutan alat bantu  pendidikan (teaching aids), yaitu segala macam peralatan yang dipakai guru untuk membantunya memudahkan melakukan kegiatan mengajar. Alat bantu pendidikan ini yang pas untuk disebut sebagai sarana pendidikan. Jadi, sarana pendidikan adalah segala macam peralatan yang digunakan guru untuk memudahkan penyampaian materi pelajaran. Lalu apa yang disebut dengan prasarana pendidikan?. Prasarana pendidikan adalah segala macam peralatan, kelengkapan, dan benda-benda yang digunakan guru untuk memudahkan penyelenggaraan pendidikan.
Perbedaan sarana pendidikan dan prasarana pendidikan adalah pada fungsi masing-masing, yaitu sarana pendidikan untuk “memudahkan penyampaian materi pelajaran, ” prasarana pendidikan untuk “memudahkan penyelenggaraan pendidikan.” Dalam makna inilah sebutan “digunakan langsung” dan “tidak digunakan langsung” dalam proses pendidikan seperti telah disinggung di muka dimaksudkan. Jelasnya, disebut “langsung” itu terkait dengan penyampaian materi (mengajarkan/belajar materi pelajaran). Papan tulis, misalnya, digunakan langsung ketika guru mengajar (di papan tulis itu guru menuliskan pelajaran). Meja murid tentu tidak digunakan murid untuk menulis pelajaran, melainkan untuk “alas” murid menuliskan pelajaran (yang dituliskan di buku tulis).
E.  Cara Meningkatkan Kualitas Pendidikan Nasional
a.      Pendidik
Mutu pendidikan dicerminkan oleh kompetensi lulusan yang dipengaruhi oleh kualitas proses dan isi pendidikan. Pencapaian kompetensi lulusan yang memenuhi standar harus didukung oleh isi dan proses pendidikan yang juga memenuhi standar. Perwujudan proses pendidikan yang berkualitas dipengaruhi oleh kinerja pendidik dan tenaga kependidikan, kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana, kualitas pengelolaan, ketersediaan dana, dan sistem penilaian yang valid, obyektif dan tegas. Oleh karena itu perwujudan pendidikan nasional yang bermutu harus didukung oleh isi dan proses pendidikan yang memenuhi standar, pendidik dan tenaga kependidikan yang memenuhi standar kualifikasi akademik dan kompetensi agar berkinerja optimal, serta sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan yang memenuhi standar.
Kinerja pendidik dan tenaga kependidikan, khususnya guru, selain ditentukan oleh kualifikasi akademik dan kompetensi juga ditentukan oleh kesejahteraan, karena kesejahteraan yang memadai akan memberi motivasi kepada guru agar melakukan tugas profesionalnya secara sungguh-sungguh. Kesungguhan seorang guru dalam melaksanakan tugas profesionalnya akan sangat menentukan perwujudan pendidikan nasional yang bermutu, karena selain berfungsi sebagai pengelola kegiatan pembelajaran, guru juga berfungsi sebagai pembimbing kegiatan belajar peserta didik dan sekaligus sebagai teladan bagi peserta didiknya, baik di kelas maupun di lingkungan sekolah.
Selain ditentukan oleh kinerja guru, upaya peningkatan mutu pendidikan nasional juga akan sangat ditentukan oleh pelaksanaan penilaian yang valid, obyektf dan tegas, baik penilaian oleh guru dan satuan pendidikan maupun penilaian oleh pemerintah. Khusus penilaian oleh guru dan satuan pendidikan mempunyai peran yang sangat penting dalam peningkatan mutu pendidikan, karena selain bertujuan untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan, juga bertujuan untuk meningkatkan motivasi belajar peserta didik dalam rangka memelihara kontinuitas proses belajar peserta didik.
Sertifikasi Profesi Guru dan Peningkatan Mutu Pendidikan. Jika kita mencermati Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, jelas bahwa undang-undang tersebut berintikan peningkatan kesejateraan guru yang ditandai oleh adanya tunjangan khusus, tunjangan fungsional dan tunjangan profesi pendidik. Namun harus disadari bahwa peningkatan kesejahteraan guru yang diamanatkan oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen bukan merupakan tujuan, tetapi lebih sebagai instrumen untuk meningkatkan kinerja guru agar berdampak terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional. Peningkatan kesejahteraan bagi guru yang telah memenuhi standar kualifikasi akademik dan kompetensi akan berfungsi meningkatkan kinerja, tetapi peningkatan kesejahteraan bagi guru yang kualifikasi akademik dan kompetensinya belum memenuhi standar sulit diharapkan untuk berdampak terhadap peningkatan kinerja sesuai yang diharapkan. Oleh karena itu, khusus untuk tunjangan profesi pendidik hanya akan diterima oleh guru profesional yang ditandai dengan kepemilikan sertifikat profesi guru melalui program sertifikasi. Melalui program sertifikasi guru, akan terbentuk guru profesional, yaitu guru yang minimal telah memenuhi standar kualifikasi akademik dan kompetensi dan kepada mereka akan diberi tunjangan profesi pendidik yang besarnya sama dengan satu kali gaji pokok, dan selanjutnya diharapkan bahwa mereka akan berkinerja optimal dan pada gilirannya akan mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. Sebaliknya kesejahteraan yang diberikan kepada guru yang belum memenuhi standar kualifikasi akademik dan kompetensi, sulit untuk mewujudkan kinerja yang optimal danselanjutnya juga tidak akan berdampak terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional.
Oleh karena itu memberian tunjangan profesi pendidik sebagai salah satu komponen kesejahteraan kepada semua guru tanpa sertifikasi tidak akan berdampak terhadap peningkatan kinerja guru dan dengan sendirinya juga tidak akan berdampak terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional.
Dari uraian tersebut jelas bahwa sertifikasi akan berdampak terhadap peningkatan kinerja guru dan selanjutnya berdampak terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional apabila sertifikasi dapat dilakukan secara obyektif dan valid. Artinya sertifikat profesi guru hanya diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar kualifikasi akademik dan benar-benar telah memiliki standar kompetensi atau kompetensi minimal yang disyaratkan, dan hal ini hanya akan terwujud apabila program sertifikasi dilakukan secara obyektif dan valid. Selain itu, sertifikasi juga harus berkeadilan, dalam arti prioritas kesempatan untuk mengikuti sertifikasi berdasarkan atas berbagai faktor yang merupakan indikator kualitas dan prestasi guru di lapangan, seperti kesenioran (usia, kualifikasi akademik, pengalaman akademik, kepangkatan), prestasi kerja sehari-hari yang dinilai oleh atasan dan teman sejawat, dan kinerja profesional yang diperlihatkan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari. Dengan demikian mudah dipahami bahwa program sertifikasi yang dilaksanakan secara obyektif, valid dan berkeadilan akan berpengaruh positif terhadap peningkatan kinerja guru dan selanjutnya akan berpengaruh positif terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional.
Pelaksanaan Sertifikasi Guru Sertifikasi guru adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru yang telah memenuhi standar kualifikasi akademik dan kompetensi dengan mengacu pada Undang Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan.
Sertifikasi guru akan dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan ketersediaan dana, baik dana untuk pelaksanaan sertifikasi maupun dana untuk tunjangan profesi pendidik bagi guru yang nantinya lulus sertifikasi atau mendapat sertifkat profesi guru. Sesuai informasi dari Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional jumlah guru yang disertifikasi Tahun 2006 sebanyak 20.000 orang guru dan Tahun 2007 sebanyak 176.000 orang guru, yang sertifikasinya hingga saat ini belum dilaksanakan, dan baru akan dilaksanakan tahun 2007 ini, sehingga jumlah guru yang akan disertifikasi Tahun 2007 sebanyak 196.000 orang guru.
Sesuai ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 11 ayat (2) Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yangterakreditasi dan ditetapkan oleh pemerintah dan ayat (3) Sertifikasi pendidik dilaksanakan secara obyektif, transparan, dan akuntabel. Sertifikasi guru dalam jabatan bagi guru yang telah memenuhi standar kualifikasi akademik, yaitu pendidikan formal minimal Sarjana (S1) atau Diploma 4 (D-4) akan dilakukan melalui penilaian portofolio sebagai suatu bentuk uji kompetensi untuk menilai seberapa jauh guru yang bersangkutan telah menguasai kompetensi minimal yang disyaratkan sesuai yang tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, yang meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional.
Sertifikasi melalui uji kompetensi sesungguhnya dapat juga dilakukan melalui tes tertulis untuk menilai penguasaan atas standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran sesuai bidang tugas masing-masing guru, dan menilai penguasaan atas kompetensi pedagogik secara teoretik. Penilaian kompetensi pedagogik dalam praktek dilakukan melalui observasi kelas oleh assesor dari perguruan tinggi penyelenggara sertifikasi, sedang penilaian kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial dapat dilakukan melalui portofolio, penilaian atasan dan teman sejawat yang berlangsung secara berkesinambungan dalam pelaksanaan tugas profesional seharihari, baik di kelas dan di lingkungan sekolah maupun dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Bagi guru dalam jabatan yang belum memenuhi standar kualifikasi akademik masih harus mengikuti program peningkatan kualifikasi agar memenuhi kualifikasi akademik yang disyaratkan sebelum mengikuti sertifikasi, baik melalui penilaian portofolio maupun uji kompetensi seperti telah dijelaskan di atas untuk memperoleh sertifikat profesi guru.
b.      Kurikulum
Secara teoritik perubahan kurikulum bisa dilakukan pada kurikulum ideal (program) yang memberi dampak pada implementasinya, atau pada kurikulum aktual (impelementasinya) saja. Perubahan yang terjadi pada kurikulum sekolah saat ini adalah perubahan pada kurikulum ideal yang selanjutnya menuntut pula terjadinya perubahan pada implementasinya. Perubahan ini diantaranya dilakukan agar kurikulum tidak memberi penekanan lebih pada subjek akademis dan tidak terlalu sentralistis.
Kurikulum subyek akademis terdiri dari bidang studi-bidang studi yang menggambarkan berbagai disiplin ilmu. Kurikulum ini memiliki keunggulan, selain mudah dalam merancang ruang lingkup (scope) dan urutannya (sequens), juga mudah dalam mengevalusi keberhasilannya. Tujuan utama kurikulum seperti ini adalah penguasaan sejumlah materi pelajaran oleh peserta didik. Adapun diantara kelemahannya adalah isi kurikulum kurang menyentuh kebutuhan kehidupan peserta didik, baik sebagai pribadi maupun sebagai makhluk sosial, dan kurang mengembangkan kemampuan berpikir dan pengembangan moral. Hal ini disebabkan: pertama, kurikulum tidak menempatkan kebutuhn peserta didik dalam masyarakat sebagai sumber perumusan isi sehingga cenderung memunculkan permasalahan relevansi. Kedua, proses kurikulum sekolah cenderung menuntut peserta didik untuk menguasai sejunlah pengetahuan, tanpa diberi kesempatan atau fasilitas melakukan proses belajar yang bersifat aktif, sehingga memunculkan permasalahan mutu.
Kurikulum yang bersifat sentralistik proses pengembangannya kurang memberdayakan peran sekolah dan partisipasi masyarakat setempat, serta kurang mengacu kepada kebutuhan daerah. Kurikulum sentralistik tercermin dari adanya kesenjangan antara cita-cita ideal seperti yang dirumuskan dalam tujuan pendidikan dengan pelaksanaannya di sekolah. Tujuan pendidikan yang menekankan pada pengembangan kepribadian dan aspek-aspek afektif, seperti pembentukan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, tidak diterjemahkan ke dalam proses pengembangan kurikulum, baik kurikulum ideal maupun aktual. Bahkan dalam pelaksanaan kurikulum di atas, tujuan-tujuannya direduksi pada pencapaian tujuan-tujuan yang bersifat yang lebih sarat denga muatan kognitif.
Sebenarnya kurikulum yang bersifat subyek akademis meskipun memiliki kelemahan-kelemahan seperti diuraikan di atas masih dipandang cocok. Namun bila model ini digunakan perlu dicari upaya memperkecil kelemahan-kelemahan itu. Diantara upaya-upaya itu adalah memadukan kurikulum ini dengan model lain, seperti kurikulum humanistik, dan rekonstruksi sosial. Dengan demikian, kurikulum ideal sebagai program pendidikan nasional dikembangkan atas dasar subyek akademis dengan mengacu kepada kompetensi-kompetensi yang dituntut pada setiap jenjang, seperti yang dikembangkan KTSP. Model kurikulum ini pada hakekatnya adalah kurikulum subyek akademis yang isinya diarahkan pada pengembangan kompetensi yang terkait dengan berbagai subyek akademis itu.
1). Peningkatan Mutu Pendidikan dalam Kurikulum
Kurikulum idealnya dilaksanakan dengan berorientasi kepada pengembangan pribadi, menuju kepada kurikulum yang berorientasi pada kehidupan. Pada tingkat sekolah dasar (SD) sejumlah kemampuan dasar untuk keperluan pengembangan pribadi seperti kemampuan membaca, menulis, berpikir kritis, serta keberanian mengeluarkan gagasan dan bekerja sama perlu ditonjolkan. Selanjutnya, kurikulum yang berorientasi pada kehidupan dan pekerjaan dipadukan dengan subyek akademik dapat digunakan pada pertengahan dan akhir pendidikan dasar (SMP). Pada jenjang pendidikan menengah, barulah mereka belajar berdasarkan disiplin ilmu dengan tetap bersandar pada kehidupan dan lingkungan masyarakat sebagai sumber kurikulum.
Dalam pelaksanaan kurikulum ini tugas guru adalah mengembangkan kompetensi peserta didik terkait dengan berbagai mata pelajaran melalui proses pembelajarannya. Adapun fokus program pembelajaran adalah pada apa yang akan dicapai peserta didik, bukan pada apa yang akan diajarkan oleh guru. Untuk itu guru seharusnya mengetahui tentang kompetensi yang bisa dikuasai oleh peserta didik, sehinggga para guru bisa membuat alokasi waktu untuk memfasilitasi peserta didik mencapai kompetensi tersebut. Atas dasar ini tujuan program pembelajaran di kelas adalah mengembangkan kompetensi yang ditetapkan dalam kurikulum sepanjang waktu persekolahan. Selain itu, pelaksanaan kurikulum idealnya menempatkan pengembangan kreativitas peserta didik lebih dari penguasaan materi pelajaran. Peserta didik ditempatkan sebagai subyek dalam proses pembelajaran. Komunikasi dalam pembelajaran yang bersifat multi-arah seyogyanya dikembangkan. Pembelajaran berpikir dikembangkan dengan menekankan pada kreativitas peserta didik untuk mencari pemahaman terhadap obyek, menganalisis dan merekonstruksi, sehinggga terbentuk pengetahuan baru dalam diri peserta didik. Pembelajaran bukan bertujuan mentransfer pengetahuan atau memberikan informasi, tetapi menciptakan lingkungan yang memungkinkan peserta didik dapat berpikir kritis dan membentuk pengetahuan dan keterampilan yang dimanifestasikan dalam hasil belajar.
Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan kurikulum ini adalah 1) masih lemahnya analisis kebutuhan baik pada skala makro maupun mikro, sehingga implementasi kurikulum sering tidak sesuai dengan yang diharapkan;  2) perumusan kompetensi pada tahap mikro sering dikacaukan dengan tujuan instruksional yang dikembangkan; 3) pemilihan pengalaman belajar; dan 4) evaluasi masih tidak sesuai dengan tujuan kompetensi yang dikembangkan. Untuk mengantisipasi kendala yang dihadapi, perlu diupayakan pertama, analisis kebutuhan melibatkan masyarakat agar mendapatkan dukungan dan agar kebutuhan mereka terakomodasi. Analisis dilakukan dengan memperhatikan perkembangan intelektual, emosional, dan kebutuhan masyarakat saat itu. Kedua, dalam pelaksanaan kurikulum guru mempunyai kewenangan penuh dalam mengubah strategi pembelajaran dan materi pelajaran. Dalam merumuskan tujuan, perubahan perilaku yang diharapkan harus tergambarkan, sehingga kemampuan guru memilah antara kompetensi dengan tujun instruksional meningkat. Ketiga, struktur materi pelajaran diorganisasikan mulai dari perencanaan pengajaran dalam bentuk jam pelajaran sampai dengan evaluasi menjadi satu kesatuan yang saling berkaitan.
2). Prinsip-Prinsip Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
KTSP pada dasarnya dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada para peserta didik mengembangkan kompetensi sesuai dengan potensi kemampuan yang dimiliki melalui berbagai upaya yang sesuai dengan karakteristik peserta didik masing-maisng. Oleh karena dalam hal ini selain dimungkinkan terjadinya diversifikasi kurikulum, juga metode yang digunakan bisa bervariasi. Diversifikasi kurikulum dimungkinkan karena kurikulum ini merupakan kompetensi minimal, sehingga dalam pelaksanaannya bisa diperluas, diperdalam, dan disesuaikan dengan keberagaman kondisi dan kebutuhan, baik yang menyangkut kemampuan dan potensi peserta didik maupun yang menyangkut potensi lingkungan. Variasi metode juga dimungkinkan karena kurikulum berorientasi pada peserta didik yang keberadaannya memiliki kebutuhan dan potensi yang berbeda-beda, sehingga dalam proses pembelajaran guru dituntut untuk menyesuaikan metode yang digunakan dengan keragaman kebutuhan dan potensi itu. Hal ini berarti, bahwa sebenarnya dalam pelaksanaan kurikulum ini guru hanya memfasilitasi peserta didik untuk belajar dalam upaya mencapai kompetensi, sehingga tidak ada metode tunggal yang harus digunakan, dan sumber belajar yang digunakan juga bisa berbagai macam. Untuk itu dalam rangka melaksanakan kegiatan belajar mengajar pada kurikulum ini Departemen Pendidikan Nasional (2003) mengemukakan prinsip-prinsip KTSP, yaitu:
a)      Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya.
Kegiatan pembelajaran berpusat pada peserta didik untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan. Kurikulum yang dikembangkan berdiferensiasi, dengan mempertimbangkan kebutuhan dan kepentingan peserta didik yang berbeda-beda. Mata pelajaran yang diajarkan dapat menarik dan merangsang peserta didik agar dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya.
b). Beragam dan terpadu
Pengembangan kurikulum memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, jenjang dan jenis pendidikan, serta menghargai dan tidak diskriminatif terhadap perbedaan agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan jender. Kurikulum haruslah luas mencakup seluas-luasnya mata pelajaran dan muatan di setiap mata pelajaran. Harus ada keterkaitan diantara butir-butir kurikulum.
c). Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
Pengembangan kurikulum berdasarkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang berkembang secara dinamis. Sains, teknologi, dan seni berkembang begitu cepatnya. Kurikulum hendaknya memberikan pengalaman belajar kepada peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
d). Relevan dengan kebutuhan kehidupan
Pengembangan kurikulum relevan dengan kebutuhan kehidupan; kehidupan sehari-hari peserta didik, kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, sudah seharusnya kurikulum mengembangkan beberapa keterampilan atau keahlian menghadapi hidup (life skills) yaitu keterampilan  pribadi, berpikir, sosial, akademik, dan vokasional. Kurikulum melayani kebutuhan peserta didik masa kini dan masa yang akan datang.
e). Menyeluruh atau komprehensif dan berkesinambungan
Menyeluruh atau komprehensif adalah mencakup keseluruhan kompetensi, keilmuan, mata pelajaran yang dipelajari, metode pembelajaran yang dipergunakan dan pengalaman belajar yang tersedia.. Berkesinambungan artinya keseluruhan kompetensi, keilmuan dan mata pelajaran itu direncanakan dan disajikan antarsemua jenjang pendidikan. Terdapat perkembangan dalam pembelajaran berupa rangkaian yang logis dari apa yang para peserta didik pelajari. Satu pengalaman belajar akan dibangun dari pengalaman belajar sebelumnya.
f). Belajar seumur hidup
Peserta didik belajar seumur hidup melalui proses pengembangan, pembudayaan, dan pemberdayaan. Pengembangan kurikulum meliputi pendidikan formal, nonformal, dan informal dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya. Kurikulum menekankan pada bagaimana cara peserta didik belajar dan memberikan kompetensi yang diperlukan untuk terus belajar. Selain  itu juga memberikan keahlian kepada peserta didik yang perlu dipelajari agar dapat terus belajar sepanjang hidupnya.
g). Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah
Kepentingan nasional dan daerah yang seimbang, saling mendukung, dan memberdayakan bertujuan untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sekolah perlu mempertimbangkan minat dari masyarakat dan daerah dengan mengacu pada kerangka kerja umum dari pemerintah nasional.
Diharapkan dengan adanya KTSP ini nantinya guru-guru bisa merancang kurikulum atau program belajar pada mata pelajaran yang dikuasainya, sehingga bisa memfasilitasi peserta didik belajar dengan baik. Namun demikian, KTSP pun belum tentu berhasil dengan baik kalau guru-guru ini hanya berdiri sendiri dan bekerja sendiri secara indvidual tanpa berkomunikasi dengan yang lain. Dengan memahami KTSP diharapkan lembaga-lembaga pendidikan terutama di lingkungan Direktorat Jendral Pendidikan Islam bisa berhasil dalam meningkatkan kualitasnya dan benar-benar bisa sesuai dengan harapan masyarakat, karena sebetulnya yang namanya mutu pendidikan itu harus sesuai dengan harapan masyarakat
c.       Tujuan Pembelajaran
Seiring dengan pergeseran teori dan cara pandang dalam pembelajaran, saat ini telah terjadi pergeseran dalam perumusan tujuan pembelajaran. W. James Popham dan Eva L. Baker (2005) mengemukakan pada masa lampau guru diharuskan menuliskan tujuan pembelajarannya dalam bentuk bahan yang akan dibahas dalam pelajaran, dengan menguraikan topik-topik atau konsep-konsep yang akan dibahas selama berlangsungnya kegiatan pembelajaran. Tujuan pembelajaran pada masa lalu ini tampak lebih mengutamakan pada pentingnya penguasaan bahan bagi siswa dan pada umumnya yang dikembangkan melalui pendekatan pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher-centered). Namun seiring dengan pergeseran teori dan cara pandang dalam pembelajaran, tujuan pembelajaran yang semula lebih memusatkan pada penguasaan bahan, selanjutnya bergeser menjadi penguasaan kemampuan siswa atau biasa dikenal dengan sebutan penguasaan kompetensi atau performansi. Dalam praktik pendidikan di Indonesia, pergeseran tujuan pembelajaran ini terasa  lebih mengemuka sejalan dengan munculnya gagasan penerapan Kurikulum  Berbasis Kompetensi. Selanjutnya, W. James Popham dan Eva L. Baker (2005) menegaskan bahwa seorang guru profesional harus merumuskan tujuan pembelajarannya dalam bentuk perilaku siswa yang dapat diukur yaitu menunjukkan apa yang dapat dilakukan oleh siswa tersebut sesudah mengikuti pelajaran.
Berbicara tentang perilaku siswa sebagai tujuan belajar, saat ini para ahli pada umumnya sepakat untuk menggunakan pemikiran dari Bloom (Gulo, 2005) sebagai tujuan pembelajaran. Bloom mengklasifikasikan perilaku individu ke dalam tiga ranah atau kawasan, yaitu: (1) kawasan kognitif yaitu kawasan yang berkaitan aspek-aspek intelektual atau berfikir/nalar, di dakamnya mencakup: pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehension), penerapan (application), penguraian (analysis), memadukan (synthesis), dan penilaian (evaluation); (2) kawasan afektif yaitu kawasan yang berkaitan aspek-aspek emosional, seperti perasaan, minat, sikap, kepatuhan terhadap moral dan sebagainya, di dalamnya mencakup: penerimaan (receiving/attending), sambutan (responding), penilaian (valuing), pengorganisasian (organization), dan karakterisasi (characterization); dan (3) kawasan psikomotor yaitu kawasan yang berkaitan dengan aspek-aspek keterampilan yang melibatkan fungsi sistem syaraf dan otot (neuronmuscular system) dan fungsi psikis. Kawasan ini terdiri dari : kesiapan (set), peniruan (imitation, membiasakan (habitual), menyesuaikan (adaptation) dan  menciptakan (origination). Taksonomi ini merupakan kriteria yang dapat digunakan oleh guru untuk mengevaluasi mutu dan efektivitas pembelajarannya.
Dalam sebuah perencanaan pembelajaran tertulis (written plan/RPP), untuk merumuskan tujuan pembelajaran tidak dapat dilakukan secara sembarangan, tetapi harus memenuhi beberapa kaidah atau kriteria tertentu. W. James Popham dan Eva L. Baker (2005)  menyarankan dua kriteria yang harus dipenuhi dalam memilih tujuan pembelajaran, yaitu: (1) preferensi nilai guru yaitu cara pandang dan keyakinan guru mengenai apa yang penting dan seharusnya diajarkan kepada siswa serta bagaimana cara membelajarkannya; dan (2)  analisis taksonomi perilaku sebagaimana dikemukakan oleh Bloom di atas. Dengan menganalisis taksonomi perilaku ini, guru akan dapat menentukan dan menitikberatkan bentuk dan jenis pembelajaran yang akan dikembangkan, apakah seorang guru hendak menitikberatkan pada pembelajaran kognitif, afektif ataukah psikomotor.
Menurut Oemar Hamalik (2005) bahwa komponen-komponen yang harus terkandung dalam tujuan pembelajaran, yaitu (1) perilaku terminal, (2) kondisi-kondisi dan (3) standar ukuran. Hal senada dikemukakan Mager (Hamzah B. Uno, 2008) bahwa tujuan pembelajaran sebaiknya mencakup tiga komponen utama, yaitu: (1) menyatakan apa yang seharusnya dapat dikerjakan siswa selama belajar dan kemampuan apa yang harus dikuasainya pada akhir pelajaran; (2) perlu dinyatakan kondisi dan hambatan yang ada pada saat mendemonstrasikan perilaku tersebut; dan (3) perlu ada petunjuk yang jelas tentang standar penampilan minimum yang dapat diterima.
Berkenaan dengan perumusan tujuan performansi, Dick dan Carey (Hamzah Uno, 2008) menyatakan bahwa tujuan pembelajaran terdiri atas: (1) tujuan harus menguraikan apa yang akan dapat dikerjakan atau diperbuat oleh anak didik; (2) menyebutkan tujuan, memberikan kondisi atau keadaan yang menjadi syarat yang hadir pada  waktu anak didik berbuat; dan (3) menyebutkan kriteria  yang digunakan untuk menilai unjuk perbuatan anak didik yang dimaksudkan pada tujuan
Telah dikemukakan di atas bahwa tujuan pembelajaran harus dirumuskan secara jelas. Dalam hal ini Hamzah B. Uno (2008) menekankan pentingnya penguasaan guru tentang tata bahasa, karena dari rumusan tujuan pembelajaran itulah dapat tergambarkan konsep dan proses berfikir guru yang bersangkutan dalam menuangkan idenya tentang pembelajaran.
Pada bagian lain, Hamzah B. Uno (2008) mengemukakan tentang teknis penyusunan tujuan pembelajaran dalam format ABCD.  A=Audience (petatar, siswa, mahasiswa, murid  dan sasaran didik lainnya), B=Behavior (perilaku yang dapat diamati sebagai hasil belajar), C=Condition (persyaratan yang perlu dipenuhi agar perilaku yang diharapkan dapat tercapai, dan D=Degree (tingkat penampilan yang dapat diterima).
d.      Sarana Dan Prasarana Pendidikan
Sarana pendidikan itu berdasarkan fungsinya dapat dibedakan menjadi:
1.        Alat pelajaran
Alat pelajaran adalah alat-alat yang digunakan untuk rekam-merekam bahan pelajaran  atau alat pelaksanaan kegiatan belajar. Yang disebut dengan kegiatan “merekam” itu bisa berupa menulis, mencatat, melukis, menempel (di TK), dan sebagainya.
Papan tulis, misalnya, termasuk alat pelajaran jika digunakan guru untuk menuliskan materi pelajaran. Termasuk juga kapur atau spidol dan penghapus papan tulis. Alat pelajaran yang  bukan alat rekam-merekam pelajaran, melainkan alat kegiatan belajar, adalah alat-alat pelajaran olah raga (bola, lapangan, raket, dsb), alat-alat praktikum, dan alat-alat pelajaran yang digunakan di TK (gunting, kertas lipat, perekat dsb).
2.     Alat peraga
Alat peraga adalah segala macam alat yang digunakan untuk meragakan (mewujudkan, menjadikan terlihat) objek atau  materi pelajaran. Manusia punya raga (jasmani, fisik), karena itu manusia terlihat. Dengan kata lain, bagian raga dari makhluk manusia merupakan bagian yang tampak. Itu intinya “meragakan,” yaitu menjadikan sesuatu yang “tak terlihat” menjadi terlihat.
“Tak terlihat” . Alat peraga  dibedakan menjadi dua macam, yaitu: (1) alat peraga sebenarnya, dan (2) alat peraga tiruan. Bunga dalam materi pelajaran tentang bunga dapat diragakan oleh bunga asli, bisa dengan gambar bunga. Otak manusia sangat sulit untuk diragakan oleh benda aslinya, jadi dibuat alat peraga tiruan berupa gambarnya atau “bonekanya.”  Murid (dan guru) tidak bisa “melihat” pulau-pulau yang terletak di Indonesia, maka lalu dibuatlah peta untuk meragakan bentuk dan letaknya.
3.     Media pendidikan
Media pendidikan (media pengajaran) itu sesuatu yang agak lain sifatnya dari alat pelajaran dan alat peraga. Alat pelajaran dan alat peraga memerlukan keberadaan guru. Alat pelajaran dan alat peraga membantu guru dalam mengajar. Guru mengajarkan materi pelajaran dibantu (agar murid dapat menangkap pelajaran lebih baik) oleh alat pelajaran dan alat peraga.  Oleh media, di sisi lain guru bisa “dibantu digantikan” keberadaannya. Dengan kata lain, guru bisa tidak ada di kelas, digantikan oleh media. Secara bahasa (asal-usul bahasa atau etimologis) media (medium) itu merupakan perantara. Media (medium) dalam konteks pendidikan, mempunyai makna sama dengan media dalam komunikasi (karena pendidikan itu juga komunikasi). Media komunikasi merupakan perantara penyampaian pesan (messages) yang berupa informasi dan sebagainya, dari komunikator (“pembicara”) ke komunikan (yang diajak “bicara”).
Surat kabar merupakan media komunikasi masa dari “orang-orang surat kabar” kepada masa (publik, masyarakat). Jadi, inti makna media adalah sesuatu (apapun) yang di dalamnya terkandung pesan (message) komunikasi, merupakan saluran (perantara) komunikasi. Dengan pengertian dasar serupa itu, maka yang disebut media pendidikan dapat didefinisikan sebagai  segala sesuatu yang berisikan pesan berupa materi pelajaran dari pihak pemberi materi pelajaran kepada pihak yang diberi pelajaran, misalnya buku pelajaran, CD berisi materi pelajaran, tayangan TV yang berupa materi pelajaran, rekaman suara yang berupa materi pelajaran, dan sebagainya. Agar tidak kacau balau menyamamaknakan alat peraga sebagai media pendidikan, harus dicermati sifat khas media, yaitu ada pesan komunikasi pendidikan di dalamnya yang berupa materi pelajaran:
(1) tuntas, yaitu sudah menyeluruh;
(2) jelas, tidak memerlukan penjelasan dari guru;
(3) bisa “ditangkap” langsung oleh murid.
Prasarana pendidikan adalah segala macam alat, perlengkapan, atau benda-benda yang dapat digunakan untuk memudahkan (membuat nyaman) penyelenggaraan pendidikan. Ruang kelas itu termasuk prasarana pendidikan. Meja dan kursi itu termasuk prasarana pendidikan. Jelasnya, kegiatan belajar di ruang kelas (yang sejuk dan sehat) tentu lebih nyaman dibandingkan di luar ruangan yang panas berdebu. Belajar dengan duduk di kursi yang nyaman tentu lebih enak daripada duduk di bangku yang reyot atau “lesehan” (duduk-duduk bersila). Menulis beralaskan meja tentu lebih nyaman dibandingkan menulis beralaskan lantai
F.   Peran pemerintah dalam mengatasi kualitas pendidikan
Pemerintah memegang peranan penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan anak-anak Indonesia, terutama mulai dari ketersediaan sarana dan prasarana minimal berupa gedung sekolah yang layak, hingga sampai pada ketersediaan berbagai fasilitas pendukung pendidikan lainnya. Beberapa hal yang sangat penting adalah perbaikan system pendidikan maupun perbaikan komponen-komponen pendidikan. Komponen pendidikan sangat menunjang bagi kelangsungan berjalannya proses belajar-mengajar di sekolah.
Banyaknya permasalahan pendidikan terutama masalah kualitasnya, maka pemerintah Indonesia banyak mengusahakan berbagai cara untuk memperbaiki permasalahan-permasalahan yang telah diungkapkan diatas. Beberapa cara tersebut diantaranya adalah
1.      Adanya dana BOS untuk melancarkan program wajar 9 tahun.
2.      Sertifikasi dalam kaitannya dengan peningkatan mutu/kualitas guru.
3.      Perbaikan-perbaikan kurikulum dari tahun ke tahun, hal ini menunjukkan bahwa pemerintah selalu berusaha mencari metode yang tepat dan pas untuk pendidikan di Indonesia.
4.      Program penataran/pelatihan-pelatihan tertentu bagi guru
5.      Munculnya kebijakan desentralisasi pendidikan. Kebijakan ini dimaksudkan bahwa pemerintah pusat tak lagi harus terlalu mengambil bagian dalam menangani permasalahan pendidikan di daerah. Karena keputusan dari pusat tak selalu tepat bagi penyelesaian masalah pendidikan daerah. Dari program ini pula pemerintah daerah dianggap lebih mengetahui titik penyelesaiannya.
6.      Pemerintah juga memberikan kebijakan bagi lulusan siswa smp untuk melanjutkan ke SMK, dimaksudkan agar lulusannya dapat langsung terserap ke dunia kerja dan mengurangi tingkat pengangguran yang kian melonjak.
7.      Bagi anak berkebutuhan khusus maka di Indonesia mulai dirancang tentang pendidikan inklusi yang bermaksud untuk menyamakan atau mempersamakan perbedaan yang terjadi, persmaan kesemapatan belajar. Dan bagi kebijakan ini diperlukan adanya guru-guru yang trampil dan cekatan serta mengetahui semua kondisi siswa, serta untuk sarana prasarana dibutuhkan perhatian yang lebih, karena sekolah inklusi ini membutuhkan segala sarana-prasarana yang dibutuhkan oleh siswa sesuai dengan kondisinya.
Pada dasarnya peran pemerintah sangat menentukan dalam memperbaiki kualitas pendidikan bangsa ini, namun tentu saja itu juga dibutuhkan campur tangan dari peran serta keluarga dalam pendidikan informalnya.
G.  Kesimpulan
Isu pendidikan telah menjadi bagian dari dinamika pendidikan di negeri ini. Dari jaman ke jaman ada isu yang masih terus hidup dan ada pula yang hilang kemudian digantikan dengan yang baru. Seperti masalah yang kali ini terus mencuat dan bergulir mengenai kualitas pendidikan. Kualitas pendidikan kita yang lebih rendah dari Malaysia dan Singapura membuktikan bahwa pendidikan di Indonesia perlu dibenahi.  Untuk mencapai semua itu, kita harus berpikir keras dalam mencari solusi yang tepat.
Salah satu standar yang berkaitan langsung dengan keberhasilan penyelenggaraan pendidikan adalah standar pendidik dan tenaga kependidikan, khususnya guru. Mutu pendidikan dicerminkan oleh kompetensi lulusan yang dipengaruhi oleh kualitas proses dan isi pendidikan. Pemerintah memegang peranan penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan anak-anak Indonesia, terutama mulai dari ketersediaan sarana dan prasarana minimal berupa gedung sekolah yang layak, hingga sampai pada ketersediaan berbagai fasilitas pendukung pendidikan lainnya. Berbagai hal yang mempengaruhi kualitas pendidikan adalah suatu perbaikan pada komponen pendidikan itu sendiri, oleh karena itu memperbaiki kualitas pendidikan harusnya memperhatikan perbaikan komponen pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Tilaar, HAR. Membenahi Pendidikan Nasional.
Tilaa, HAR. 2006. Standarisasi Pendiidkan Nasiona, Suatu Tinjauan Kritisl. Jakarta : PT Rineka Cipta.
www.wordpress.com, diakses pada tanggal 15 Juli 2010
www.ilmupendidikan.net, diakses pada tanggal 15 Juli 2010
cindropramedwari.blogspot.com, diakses pada tanggal 15 Juli 2010