Jumat, 23 Maret 2012

Kurikulum Yang Humanistik dan Religius


Pendahuluan
           
            Kurikulum merupakan pilar bagi keberlangsungan pendidikan di Indonesia. Kurikulum berguna untuk membimbing kehidupan pengajaran di setiap sekolah baik mulai tingkat dasar hingga tingkat tinggi. Di Indonesia sendiri telah ada kurikulum yang berjalan sejak zaman kemerdekaan hingga sekarang. Kurikulum mempunyai kedudukan sentral dalam seluruh proses pendidikan, kurikulum mengarahkan segala bentuk aktivitas pendidikan demi tercapainya tujuan pendidikan, oleh karena itu peran kurikulum sangat signifikan dalam dinamika pendidikan.
            Kurikulum humanistik merupakan sebuah upaya untuk melakukan humanisasi dalam proses pendidikan. Dan menganggap bahwa manusia memiliki potensi, kekuatan dan kemampuan dalam dirinya. Kurikulum humanistik berawal dari aliran pendidikan empiristik kemudian lahirlah pendidikan humanis dan lahir pula kurikulum humanistik, sehingga kurikulum humanistik dikembangkan oleh para ahli pendidikan humanis, yang mana kurikulum ini berdasarkan konsep aliran pendidikan pribadi ( Personalized Education ) yaitu Jhon Dewey ( Progressive Education ) dan J.J. Rousseau ( Romantic Education ) . yang mana aliran ini lebih memberikan tempat kepada siswa, artinya bahwa aliran ini beranggapan bahwa manusia adalah yang pertama dan utama dalam pendidikan, manusia adalah subyek sekaligus obyek dalam pendidikan.
            Kurikulum yang bersifat religius ialah kurikulum yang berisikan materi pengajaran yang mengajarkan bagaimana kita bisa mengerti tentang ilmu agama dan bagaimana kita menerapkan ikhtisar-ikhtisar agama yang masing-masing kita anut di masyarakat. Tentunya agama merupakan dasar dari jiwa kerohanian masyarakat. Dengan mengerti tentang kehidupan beragama diaharapkan siswa di sekolah lebih bisa menjaga diri dan selalu berpoedoman kepada ajaran agama dalam melakukan kegiatan apapun di masyarakat.




Pembahasan

            Dalam pembahasan makalah ini, mengenai kurikulum yang bersifat humanis dan religius, maka kami para pemakalah menampilkan contoh dari lembaga yang selalu mengedepankan kehumanisan dan keriligiusitas-an dalam melakukan pengajaran di sekolah, yakni pesantren.
a. Pengertian pesantren
            Pesantren menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar para santri. Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren dari sudut historis kultural dapat dikatakan sebagai “training centre” yang otomatis menjadi pusat budaya Islam, yang disahkan atau dilembagakan oleh masyarakat, setidaknya oleh masyarakat Islam sendiri yang secara de facto tidak dapat diabaikan oleh pemerintah. Itulah sebabnya Nurcholish Madjid mengatakan bahwa dari segi historis, pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous).
            Kehadiran pesantren pertama kali di Indonesia, tidak terdapat keterangan yang pasti. Menurut pendataan yang dilakukan oleh Departemen Agama, pada tahun 1984-1985, sebagaimana dikutip oleh Hasbullah, diperoleh keterangan bahwa pesantren tertua didirikan pada tahun 1062 di Pamekasan Madura, dengan nama pesantren Jan Tampes II. Akan tetapi, hal ini juga diragukan karena tentunya ada pesantren Jan Tampes I yang lebih tua. Walaupun demikian, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang peran-sertanya tidak diragukan lagi terutama bagi perkembangan Islam di Indonesia.
            Dalam perkembangannya, pondok pesantren mengalami perubahan yang pesat, bahkan ada kecenderungan menunjukkan tren. Di sebagian pesantren telah mengembangkan kelembagaannya dengan membuka sistem madrasah, sekolah umum, dan di antaranya ada yang membuka semacam lembaga pendidikan kejuruan, seperti bidang pertanian, peternakan, teknik, dan sebagainya. Kontak antara pesantren dan madrasah ini, menurut Abdurrahman Mas’ud, baru terjadi secara intensif dan massif pada awal dekade 70-an. Sebelum itu, kedua lembaga ini cenderung berjalan sendiri-sendiri, baik karena latar-belakang pertumbuhannya yang berbeda maupun karena tantangan eksistensial yang dihadapi masing-masing lembaga yang tidak sama.

b. Dinamika Kurikulum Pesantren
            Sebagaimana disinggung di depan bahwa kurikulum merupakan salah satu instrumen dari suatu lembaga pendidikan, termasuk pendidikan pesantren. Untuk mendapatkan gambaran tentang pengertian kurikulum, akan disinggung terlebih dahulu definisi tentang kurikulum. Menurut Iskandar Wiryokusumo, kurikulum adalah “Program pendidikan yang disediakan sekolah untuk siswa”. Sementara itu, menurut S. Nasution, kurikulum adalah “Suatu rencana yang disusun untuk melancarkan proses belajar-mengajar di bawah bimbingan dan tanggung-jawab sekolah atau lembaga pendidikan beserta staf pengajarnya”.
            Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa kurikulum pada dasarnya merupakan seperangkat perencanaan dan media untuk mengantarkan lembaga pendidikan untuk mewujudkan lembaga pendidikan yang diidamkan. Pesantren dalam kelembagaannya, mulai mengembangkan diri dengan jenis dan corak pendidikannya yang bermacam-macam. Pesantren besar, pesantren Tebuireng, di Jombang, misalnya, di dalamnya telah berkembang madrasah, sekolah umum, sampai perguruan tinggi yang dalam proses pencapaian tujuan institusional selalu menggunakan kurikulum. Tetapi, pesantren yang mengikuti pola salafi (tradisional), mungkin kurikulum belum dirumuskan secara baik.
            Kurikulum pesantren “salaf” yang statusnya sebagai lembaga pendidikan non-formal hanya mempelajari kitab-kitab klasik yang meliputi: Tauhid, Tafsir, Hadits, Fiqh, Ushul Fiqh, Tasawwuf, Bahasa Arab (Nahwu, Sharaf, Balaghah dan Tajwid), Mantiq dan Akhlak. Pelaksanaan kurikulum pendidikan pesantren ini berdasarkan kemudahan dan kompleksitas ilmu atau masalah yang dibahas dalam kitab. Jadi, ada tingkat awal, menengah dan tingkat lanjutan.
            Adapun karakteristik kurikulum yang ada pada pondok pesantren modern, mulai diadaptasikan dengan kurikulum pendidikan Islam yang disponsori oleh Departemen Agama melalui sekolah formal. Kurikulum khusus pesantren dialokasikan dalam muatan lokal atau diterapkan melalui kebijaksanaan sendiri. Gambaran kurikulum lainnya adalah pada pembagian waktu belajar, yaitu mereka belajar keilmuan sesuai dengan kurikulum yang ada di perguruan tinggi (sekolah) pada waktu-waktu kuliah. Waktu selebihnya dengan jam pelajaran yang padat dari pagi sampai malam untuk mengkaji ilmu Islam khas pesantren.
            Fenomena pesantren sekarang yang mengadopsi pengetahuan umum untuk para santrinya, tetapi masih tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik merupakan upaya untuk meneruskan tujuan utama lembaga pendidikan tersebut, yaitu pendidikan calon ulama yang setia kepada paham Islam tradisional.
            Kurikulum pendidikan pesantren modern merupakan perpaduan antara pesantren salaf dan sekolah (perguruan tinggi), diharapkan akan mampu memunculkan output pesantren berkualitas yang tercermin dalam sikap aspiratif, progresif dan tidak “ortodoks” sehingga santri bisa secara cepat beradaptasi dalam setiap bentuk perubahan peradaban dan bisa diterima dengan baik oleh masyarakat karena mereka bukan golongan eksklusif dan memiliki kemampuan yang siap pakai.

c. Implementasi Inovasi Kurikulum dalam Pendidikan Pesantren
            Sebagai lembaga pendidikan yang memroses santri menjadi anak manusia yang bermanfaat dalam kehidupan duniawi dan ukhrawinya, maka pesantren dalam konteks pencapaian tujuan pendidikannya tidak bisa dipisahkan dengan kurikulum yang didesainnya. Oleh karena itu, bukan sesuatu yang naif bila dipandang perlu adanya evaluasi kurikulum pesantren sekaligus upaya mengembangkannya.
            Berbicara tentang pengembangan kurikulum, dalam konteks tulisan ini lebih menekankan pada model pengembangannya yang setidaknya dapat diklasifikasi menjadi empat aspek, yaitu tujuan pendidikan, bahan pembelajaran, proses pembelajaran, dan penilaian. Oleh karena itu, bermuara dari empat hal ini akan diurai bahasannya yang dapat dipertimbangkan implementasinya di dunia pendidikan pesantren.

1. Tujuan pendidikan pesantren. Dalam hal ini, Nurcholish Madjid mensinyalir bahwa tujuan pendidikan pesantren pada umumnya diserahkan kepada proses improvisasi menurut perkembangan pesantren yang dipilih sendiri oleh Kiai atau bersama-sama pembantunya secara intuitif. Tujuan umum pesantren adalah untuk mendidik dan meningkatkan ketakwaan dan keimanan seseorang sehingga dapat mencapai manusia insan kamil. Hal ini akan lebih laras apabila aspek humanistik berusaha memberikan pengalaman yang memuaskan secara pribadi bagi setiap santri, dan aspek teknologi yang memanfaatkan proses teknologi untuk menghasilkan calon ulama yang kaffah dapat direalisasikan sebagai tambahan tujuan pendidikan pesantren. Selaras dengan al-Qur’an yang memberikan perhatian seimbang antara kepentingan duniawi dan ukhrawi (QS. 28:77), yakni agar gemar bekerja keras dalam menuntut ilmu hingga mencapai kemajuan dan kemahiran (QS. 13:11 dan QS. 94:7). Di samping yang umum, perlu adanya tujuan khusus yang justru mengarah pada tujuan lokal yang sesuai dengan situasi dan kondisi pesantren berada.

2. Bahan pembelajaran. Meskipun sekarang kebanyakan pesantren telah memasukkan pengajaran pengetahuan umum sebagai satu bagian penting dalam pendidikan pesantren, barangkali yang mendesak saat ini, sesuai dengan gencarnya pengembangan sumber daya manusia (SDM) adalah mengembangkan spesialisasi pesantren dengan disiplin ilmu pengetahuan lain yang bersifat praktis yang melalui jalur aplikasi teknologi sehingga kurikulumnya tidak terlalu bersifat akademik. Tidak mengurangi sifat ilmiah bila dikutip sinyalemen Az-Zarnuji yang mengatakan bahwa sebaik-baik ilmu adalah ‘ilm hal (ilmu ketrampilan). Dengan demikian, pesantren sebagai basis kekuatan Islam diharapkan memiliki relevansi dengan tuntutan dunia modern, baik untuk masa kini maupun masa mendatang.

3. Proses Pembelajaran. Pada umumnya pembelajaran di pesantren mengikuti pola tradisional, yaitu model sorogan dan model bandongan. Kedua model ini Kiai aktif dan santri pasif. Secara teknis model sorogan bersifat individual, yaitu santri menghadap guru seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajari, sedangkan model bandongan (weton) lebih bersifat pengajaran klasikal, yaitu santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling Kiai menerangkan pelajaran secara kuliah dengan terjadual. Meskipun sorogan dan bandongan ini dianggap statis, tetapi bukan berarti tidak menerima inovasi. Malah menurut Suyoto, metode ini sebenarnya konsekuensi daripada layanan yang ingin diberikan kepada santri. Berbagai usaha dewasa ini dalam berinovasi dilakukan justru mengarah kepada layanan secara indivual kepada anak didik. Metode sorogan justru mengutamakan kematangan dan perhatian serta kecakapan seseorang. Dalam pada itu, Mastuhu memandang bahwa sorogan adalah metode mengajar secara indivividual langsung dan intensif. Dari segi ilmu pendidikan sebenarnya metode ini adalah metode yang modern karena antara Kiai dan santri saling mengenal secara erat, dan guru menguasai benar materi yang seharusnya diajarkan. Murid juga belajar dan membuat persiapan sebelumnya. Demikian guru telah mengetahui materi apa yang cocok buat murid dan metode apa yang harus digunakan khusus untuk menghadapi muridnya. Di samping itu, metode sorogan juga dilakukan secara bebas (tidak ada paksaan), dan bebas dari hambatan formalitas.

4. Penilaian. Pada umumnya pesantren yang belum mencangkok sistem pendidikan modern belum mengenal sistem penilaian (evaluasi). Kenaikan tingkat cukup ditandai dengan bergantinya kitab yang dipelajari. Santri sendiri yang mengukur dan menilai, apakah ia cukup menguasai bahan yang lalu dan mampu untuk mengikuti pengajian kitab berikutnya. Masa belajar tidak ditentukan sehingga memberikan kelonggaran pada santri untuk meninggalkan pesantren setelah merasa puas terhadap ilmu yang telah diperolehnya dan merasa siap terjun di masyarakat; dan kalau santri belum puas, tidak salah baginya untuk pindah pesantren lain dalam rangka mendalami ilmunya. Tentu saja perlu menentukan kriteria penilaian, penyusunan program penilaian, pengumpulan data nilai, menentukan penilaian ke dalam kurikulum. Hal ini perlu waktu yang cukup lama, meng-ingat banyak faktor, terutama tenaga ahli teknik evaluasi maupun hambatan dari lingkungan masyarakat pesantren itu sendiri. Lepas dari pro dan kontra, pengembangan sistem penilaian tidak harus mengikuti model penilaian pendidikan umum, melainkan dikembangkan sistem penilaian yang komprehensif sesuai dengan tenaga pendidikan yang ada di pesantren. Oleh karena itu, ijasah sebagai pengakuan bahwa santri telah menguasai matapelajaran/kitab perlu diberikan, meskipun itu bukan maksud utama bagi santri dan bagi lembaga pesantren.

















Kesimpulan

            Kurikulum yang humanis dan religius memang masih sulit ditemukan disekolah umum pada umumnya. Pesantren, sebagai tempat menuntut ilmu humanistik dan religi telah berperan penting dalam memasyarakatkan santri-santrinya di lingkungan masyarakat. Dengan demikian, pesantren mempunyai potensi besar untuk menjadi lembaga pendidikan ideal yang dapat dijadikan alternatif bagi masyarakat Indonesia. Agar potensi tersebut benar-benar teraktualisasi menjadi kekuatan nyata, maka pesantren harus berbenah diri dalam melaksanakan fungsi kependidikannya, terutama dalam hal yang berkaitan dengan pengembangan/inovasi kurikulum pendidikan pesantren.
            Salah satu model pengembangan kurikulum pesantren yang dapat dipertimbangkan implementasinya adalah bertumpu pada tujuan, pengembangan bahan pelajaran, peningkatan proses pembelajaran, dan pengembangan sistem penilaian yang komprehensif. Adapun model pembelajaran dengan metode sorogan dan bandongan sebagai tradisi akademik di pesantren masih tetap relevan, namun perlu dikembangkan menjadi model sorogan dan bandongan yang dialogis. Di samping itu, perlu pengembangan bahan pembelajaran tertentu, terutama yang menonjolkan penalaran dan pemikiran filosofis. Bagaimanapun juga, keberhasilan upaya-upaya pengembangan pesantren, sangat tergantung kepada pesantren yang bersangkutan karena pengasuh dan para ustadz di pesantren itu sendiri yang seharusnya memiliki posisi sentral untuk menggerakkan roda dan dinamika pesantrennya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar